Pamela Cooper-White, ch1 “Power and Violence against Women” and “Conclusion:
The Call to Reconciliation” in The Cry of Tamar: Violence against Women and the
Church’s Response
There
are word and concept new for me : a word “Poignant” (p.18) and a concept of “Rape is power, not sex” (p.18)
The author talks about violence against women,
and points that the roots of violence happened within women are caused by
annihilation of connectivity of human relationship. It happens when in their relationship
people want to take control of others and when there is no more relationship
between people. People see other people only as an object of them (I-it
relationship) and not see others as subject who share same humanity (I-thou
relationship). Also point that power (to do and to be) in human is being as
cause of violence against women. It
happens when people misuses their power to do and to be to oppress others,
especially women. So they use their power to do and to be as a power-over
others. It should be used as a power-within and power-with, when people share
their humanity in I-Thou-We relationship.
I agree
with the author when she used Buber’s I-Thou dialectical
philosophy about relationship to explain how important for us to re-image our
relationship with one another, and also re-image our God. It is important
because how we re-image God has everything to do with how we image our
relationship with each other. It is better to reconstruct God’s image not only
as God of love and justice, but also God’s image as mother, midwife, or one who
enfolds humanity under a warm wing or as a compassionate God.
It is interesting that the text include
discussion about power when it talks about violence against women. The text helps us to understand that power to
do and to be affects how we interact with one another. When the power is being
misused (power-over), violence against woman (and also humanity) occur.
In term
of acknowledge that violence can
cause suffering and poignant, I found one compelling
insights in the text. I quote “... God is not all-powerful to prevent
human suffering, which would obviate humanity’s free will, but, rather, stands
in solidarity with a suffering humanity” (p. 41). I observe that many churches
(at least in Indonesia) talk about The Powerful God who will help us overcome our problems. Just giving
all our problems up to God’s hand, and everything will be alright again. This
understanding, for me, do not solve anything except just temporary escapement.
More than that, it makes us become passive person and doing nothing. Also it can misguide us to a danger understanding
that when there is nothing change in our life, or when suffering and poignant are still there in
our life, people can think that God fails to help us. Actually
God does not fail. God is with us in our time of suffering and agony. God shows
solidarity with us. God wants us to know that God always be with us encounter our
sufferings and also the roots of our suffering. Besides that, when we know that
God is God with full solidarity to our suffering, we have to show our
solidarity with others who feel suffering and experience agony in their life.
So God, the Powerful God, stands in solidarity with a suffering humanity. God’s
power becomes energy for us transforming of all things into good. We can deny
that women still experience violence. When women suffer it does not mean that
God does not do anything and keep silent. God is with women fully shows
solidarity and compassion.
Two
discussion questions .
a.
Martin
Buber said that the best example for I-Thou relationship is in family (marriage
relationship), but because many reasons the relationship become I-It
relationship and violence occur among the family members, especially between
husband and wife. How can we change I-It relationship become I-Thou
relationship again?
b.
How do we
as a church react to domestic violence that occurs within our church members?
Especially in case when a woman already experience psychological and physical violence.
There are word and concept new
for me :
·
A word “Poignant” (p.18) :
According some dictionaries (offline and online dictionaries, ie. Collins
Compact English Dictionary (Glasgow, HarperCollins Publisher, 2009), online
Oxford Dictionary on http://oxforddictionaries.com/definition/english/poignant, Free online Dictionary by Farlex on http://www.thefreedictionary.com/poignant, online Merriam-Webster Dictionary on http://www.merriam-webster.com/dictionary/poignant) the meaning of word “poignant” is sharply
distressing or painful to the feelings, because someone or something causing physical
or psychological pain. It also means something that work with painful slowness.
Something that is poignant touches you deeply, especially with painful feeling,
suffering, agony, or misery.
·
And
concept of “Rape is power, not sex” (p.18) :
Honestly
before I read this text, my understanding of rape is only about man forces
woman to submit to sexual intercource without
her consent, usually involves violences. It happen when man can not control his
desire (or it is better to say, “his lust”) upon woman. And when man sees woman
only as an object of his desire, not as an equal subject who has same equations
as a human being. I do not think before that the root of raping is about man misuses so called “power” against
woman, not only about sex. About man miuses power in his hand as a man and thinks that he
is more better than woman, or more superior than woman, and treat woman as he
wants. And I believe it is not only about raping but also about violence
against woman, and against humanity. People do violence against other people
because they think that they have power and right to do such violence to
others.
Seluruh pandangan filsafat
dialogis Buber tertuang dalam bukunya,Ich und Du (I and Thou)yang terbit pada
tahun 1923. Menurutnya,awal dari segala sesuatu adalah relasi. Pada dasarnya
manusia hidup dalam relasi, bahkan dalam berbagai macam relasi yang kompleks.Baginya,
all real living is meeting,manusia tidak mungkin hidup terisolir tanpa
melakukan relasi apa-apa.Ada tiga lingkup relasi dalam hidup manusia. Pertama,
hidup bersama-sama dengan alam. Bagi Buber lingkup relasi ini “berada di bawah
wilayah bahasa” (vibrates in the dark and remains below language).
Kedua, hidup bersama-sama dengan
manusia yang lain. Hubungan dalam lingkup ini jelas dan nyata, dan memasuki
wilayah bahasa (manifests and enters language).Ketiga, hidup bersama-sama dengan
spiritual beings, relasi yang tidak memiliki bahasa tetapi menciptakannya
(wrapped in cloud but reveals itself, it lacks but creates language).
Yang paling unik dari ketiga
lingkup tersebut adalah relasi dengan manusia. Karena dalam relasi dengan
manusia, bahasa dapat digunakan dengan
sempurna sehingga menjadi sebuah urutan dan percakapan yang berbalas-balasan.
Dalam ketiga lingkup tersebut
manusia mempunyai dua relasi yang fundamental, “The attitude of man is twofold
in accordance with the two basic words he can speak.” Relasi yang pertama
adalah I-It, dan yang kedua adalah I-Thou. Menurut Buber, manusia akan
menemukan dirinya sendiri, menjadi pribadi yang utuh dan dapat menemukan tujuan
hidupnya apabila ia mempunyai
relasi I-Thou. Sebaliknya, hal-hal tersebut tidak dapat ditemukan dalam relasi
I-It. Dalam relasi I-Thou, terjadi hubungan antarsubjek yang bersifat resiprok.
Sedangkan dalam relasi I-It, manusia memperlakukan pihak lain sebagai objek. Menurutnya,
hubungan I-Thou bukan sekadar pengalaman tetapi
kehadiran dan berupa relasi.
Hubungan I-Thou bersifat spontan, tidak diikat oleh aturan-aturan serta
melampaui ruang dan waktu. Bagi Buber, relasi I-Thou paling jelas dapat dilihat
dalam hubungan pernikahan. Karena di dalam pernikahan setiap orang seharusnya memperlakukan
pasangannya sebagai subjek dan bukannya sebagai objek.
Di antara pasangan suami isteri,
relasi I-Thou berlangsung ketika setiap orang menunjukkan kasih kepada
pasangannya. Relasi I-Thou tidak hanya ditemukan dalam hubungan antarmanusia, tetapi
juga dalam hubungan antara manusia dan alam dan spiritual beings. Sebaliknya,
relasi I-It tidak hanya dijumpai ketika ia berhubungan
dengan alam dan spiritual beings
tetapi juga dalam hubungan dengan manusia yang lain. Hal itu tergantung pada
apakah manusia memperlakukan hal lain itu sebagai objek atau membangun relasi
dialogis antara subjek.
Buber memberikan kritik keras
terhadap peradaban manusia modern. Menurutnya, dalam sejarah manusia makin
memperbesar relasi I-It dan menghilangkan relasi I-Thou. Di tengah kemajuan
modernisasi, manusia modern semakin mengalami dan menggunakan pihak lain (alam,
manusia dan spiritual beings), memperlakukan pihak lain sebagai objek dan kehilangan
relasi. Berbeda dengan komunitas primitif yang dengan segala kesederhanaannya
justru sangat sedikit memperlakukan orang lain sebagai objek. Menurutnya, “dua
kamar” kehidupan manusia modern, yakni ekonomi dan negara, makin menjajah dan
membuat manusia menggunakan manusia lainnya. Di bidang ekonomi, manusia menggunakan
barang-barang dan jasa, sedangkan dalam negara (politik), manusia menggunakan
opini dan aspirasi orang lain. Relasi
I-Thou adalah relasi yang seharusnya dimiliki oleh manusia, namun di samping
itu, manusia juga membutuhkan relasi I-It. Menurut Buber, relasi I-It sendiri
tidak jahat selama manusia tidak memanipulasi,
“memperkosa,” mengubah, dan
memperalat It. Ia menyatakan: “And in all the seriousness of truth, listen:
without It a human being cannot live. But whoever lives only with that is not
human.” Sayangnya, relasi I-Thou yang sangat baik itu tidak pernah langgeng, karena
setiap relasi I-Thou selalu berubah menjadi relasi I-It.
I have already said that every
Thou in our life is doomed to become an It, a thing. The man or woman whom we
love, whom we seek to fulfill totally, becomes a given imperfect person with a
known nature and quality. A young medical student dreams passionately of curing
suffering humanity. Then he becomes a doctor in a crowded hospital, with
pressure, with not enough time to devote to every patient. And the suffering
humans become objects. They recede to the world of the It.
Eternal Thou
Relasi I-Thou mencapai puncaknya
ketika manusia memasuki relasi I-Eternal Thou, yakni Allah sendiri. Pengalaman
bertemu dengan Eternal Thou jauh lebih penting dari sebutan nama Allah. Banyak
orang menyebut dan memakai nama Allah namun tidak pernah mengenal dan mengalami
kehadiran-Nya sehingga menganggap Allah hanya sebagai
It. Bagi Buber, nama Allah
berada jauh di atas pemahaman pikiran manusia. Karena Buber menganggap setiap
penggambaran manusia tentang Allah pasti cacat, maka ia tidak berani
menggambarkan Allah ke dalam nama-nama.
Bagi Buber sendiri ada hubungan
yang sangat erat antara relasi dengan Allah dan relasi dengan hal-hal lain. Di
dalam semua lingkup relasi, manusia dapat berjumpa dengan Eternal Thou. In
every sphere, through everything that becomes present to us, we gaze toward the
train of the eternal You; in each we perceive a breath of it; in every You we
address the eternal You, in every sphere according to its manner. Meskipun pertemuan dengan Eternal Thou berada
di dalam relasi I-Thou, tetapi dengan tegas Buber membedakan Thou dengan
Eternal Thou. Baginya, Thou dapat berubah menjadi It sedangkan Eternal Thou
tidak. Perubahan relasi I-Thou menjadi
I-Eternal Thou hanya mungkin terjadi bila manusia menjadi keberadaan yang utuh,
menghancurkan segala jenis tembok yang memisahkannya dengan pihak lain, serta melepaskan
naluri untuk menguasai benda-benda. Seperti dalam relasi I-Thou, dalam relasi
I-Eternal Thou juga manusia tidak boleh memperlakukan Allah sebagai objek.
Buber mengemukakan, The only God worth keeping is a God that cannot be kept.
The only God worth talking about is a God that cannot be talked about. God is
no object of discourse, knowledge, or even experience. He cannot be spoken of,
but he can be spoken to; he cannot be seen, but he can be listened to. Buber
juga menyatakan bahwa Allah yang ia kenal (Allah orang Ibrani) berbeda dengan
Allah orang Yunani. The Greeks visualized their gods and represented them in
marble and in beautiful vase paintings. They also brought them on the stage. The
Hebrews did not visualize their God and expressly forbade attempts to make of
him an object—a visual object, a concrete object, any object.
Their God was not to be seen. He
was to be heard and listened to. He was not an It but an I-or a You.
Banyak orang telah memanipulasi
Allah untuk kepentingannya sendiri dalam bentuk doa dan korban (sacrifice). Doa
dan korban—yang disebut oleh Buber sebagai dua hamba manusia yang
agung—sebetulnya bukanlah alat untuk memanipulasi Allah seperti yang biasa
dilakukan dalam mistisisme.
Melalui doa manusia dapat
mencurahkan seluruh dirinya, perasaan dan juga jiwanya, serta bergantung
sepenuhnya kepada Allah, meskipun ia tidak meminta apa pun dari Allah. Melalui
korban, manusia dapat menyenangkan hati Allah dengan mempersembahkan bau-bauan dari
korban bakaran mereka. Dalam mistisisme dan agama-agama lainnya, manusia
“memanjatkan” korban dan doa tanpa melibatkan relasi antara dia dan Allah.
Karena tujuannya hanya supaya Allah menerima korban tersebut lalu mengabulkan
doa mereka sehingga semua keinginan mereka terpenuhi. Buber tidak hanya
menekankan bahwa manusia tidak boleh memperlakukan Allah sebagai objek
(pembicaraan, penyelidikan, pemuasan kepentingan diri sendiri), tetapi ia juga
menyatakan bahwa Allah dan manusia saling membutuhkan. Baginya, Allah
membutuhkan manusia sama seperti manusia juga membutuhkan Allah. That you need
God more than anything, you know at all times in your heart. But don’t you know
also that God needs you—in the fullness of his eternity, you? How would man
exist if God did not need him, and how would you exist? You need God in order
to be, and God needs you—for that which is the meaning of your life. Begitu
dekatnya hubungan manusia dengan Allah sehingga Allah lebih dekat dengan
manusia daripada manusia dengan dirinya sendiri. Of course, God is “the wholly
other”; but he is also the wholly same: the wholly present. Of course, he is
the mysterium tremendum that appears and overwhelms; but he is also the mystery
of the obvious that is closer to me than my own I.
Meskipun hubungan I dengan
Eternal Thou begitu eratnya, namun Buber masih membedakan natur Allah dengan
manusia. Dengan mengutip pernyataan Schleiermacher, ia berpendapat manusia
harus mempunyai feeling of dependence atau lebih tepatnya creature-feeling. Feeling
of dependence atau creature-feeling ini bukan hanya perasaan tetapi merupakan
kesadaran penuh bahwa manusia adalah makhluk ciptaan dan memiliki
ketergantungan penuh kepada sang Penciptanya. Pertemuan manusia dengan Eternal
Thou, sama seperti pertemuan dengan Thou, bersifat sangat spontan dan natural.
Manusia tidak perlu mengadakan persiapan-persiapan, melakukan praktek-praktek
tertentu atau bermeditasi untuk bertemu dengan Allah. Bahkan, manusia tidak memerlukan
pengantara apapun dan siapa pun (termasuk Yesus) untuk bisa bertemu dengan
Allah. The Jewish doctrine holds that a man can at any time return and be accepted
by God. That is all. . . . What the Hebrew tradition stresses is not the mere
state of mind, the repentance, but the act of return. And on Yom Kippur, the
Day of Atonement, the Book of Jonah is read in synagogues the world over. . . .
When God saw what they did, how they returned from their evil way, God repented
of the evil that he had said he would do to them and did it not. . . . But the
theology of Paul in the New Testament is founded on the implicit denial of this
doctrine and so are the Roman Catholic and the Greek Orthodox churches,
Lutheranism and Calvinism. Paul’s elaborate argument concerning the
impossibility of salvation under the Torah (“the
Law”) and for the necessity of
Christ’s redemptive death presuppose that God cannot simply forgive anyone who
returns.
Ketika manusia berjumpa dengan
Eternal Thou, ia mendapatkan penyataan (revelation) dari Allah. Bagi Buber,
penyataan Allah kepada manusia bisa datang kepada siapa saja dan kapan saja,
tidak terbatas melalui orang atau agama tertentu saja.
TANGGAPAN
Di tengah dunia yang makin
individualistik dan egosentris ini, Buber dengan filsafat dialogisnya, memberi
warna yang “menyegarkan.” Menurutnya, manusia akan menjadi manusia yang
sesungguhnya hanya bila ia memperlakukan orang lain atau sesuatu sebagai subjek
atau pribadi, tanpa maksud memperalat. Kenyataan yang terjadi saat ini justru
sebaliknya. Di tengah-tengah
kesibukan dengan urusannya masingmasing, manusia tidak lagi memperhatikan
manusia lain. Ia tidak menganggap orang lain sebagai subjek yang membutuhkan kasih
dan penghargaan. Ia bukan hanya tidak menghargai manusia lain, bahkan memperalatnya
demi kepentingannya sendiri. Manusia hanya dijadikan objek eksploitasi oleh
manusia lainnya. Dengan begitu, seperti dikatakan Buber, manusia modern bukan
manusia yang sesungguhnya karena belum mencapai taraf relasi I-Thou. Manusia
sekarang bahkan tidak memiliki hubungan I-It yang wajar karena ia memanipulasi,
memperalat dan “memperkosa” It (baca: manusia lainnya) untuk kepentingannya
sendiri. Karena itu, agar manusia dapat menjadi “manusia” yang sesungguhnya ia
harus memperlakukan manusia lain sebagai subjek, menciptakan relasi dengannya,
tanpa bermaksud untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri
Berkaitan
dengan Eternal Thou, Buber memberikan pernyataan yang sangat menarik, yaitu
hubungan I-Eternal Thou harus dibarengi dengan hubungan I-Thou. Jadi, tidak
mungkin seseorang mempunyai hubungan yang baik dengan Allah tanpa memiliki
hubungan yang baik dengan sesamanya. Sebenarnya, pandangan tersebut ada di
Alkitab. Alkitab
mengajarkan bahwa hukum yang
paling utama dan terutama adalah mengasihi Allah dan sesama manusia (Mat.
22:37-40). Tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa ia mengasihi Allah yang
tidak kelihatan tetapi membenci sesamanya yang kelihatan (1Yoh. 4:20). Pergumulan
Buber mengenai Allah berawal dari ketidakpuasannya
atas ritual dan tata cara
keagaaman yang kaku. Baginya, ritual dan tata cara tersebut tidak membawa
dirinya kepada Allah. Pergumulan itu akhirnya membuat Buber menjadi seorang
eksistensialis yang menanggalkan semua aturan yang dibuat oleh manusia lain dan
menentukan sendiri hidupnya. Pergumulan seperti yang dialami Buber amat mungkin
dialami juga oleh orang Kristen di Indonesia. Sangat mungkin mereka menjadi
frustrasi karena tidak “berjumpa” dengan Allah melalui semua ritual gerejawi
yang amat rutin dan “kering.” Karena itu, gereja berkewajiban membawa setiap
jemaatnya “berjumpa” dengan Allah, dengan memberi perhatian dan penggembalaan
yang benar-benar
“menyentuh,” bukan hanya sekadar
formalitas dan artifisial belaka. Kelemahan terbesar dari filsafat dialogis
Buber terletak pada subjektivitas hubungan tersebut. Buber menyatakan bahwa
hubungan I-Thou bersifat spontan, melampaui aturan-aturan, ruang dan waktu. Dengan
demikian, setiap orang dapat saja mengklaim dirinya telah
mengalami relasi I-Thou. Karena
tidak ada standar universal yang dapat dijadikan patokan untuk mengukur apakah
hubungan tersebut benarbenar I-Thou dan bukan I-It. Menurut Panko, satu-satunya
standar untuk mengidentifikasi hubungan I-Thou adalah kekayaan dari hubungan
itu sendiri. Tidak ada seorang pun yang dapat menentukan apakah suatu hubungan
adalah relasi I-Thou atau bukan, selain dirinya sendiri. Bagi Buber sendiri,
tidak ada formula yang absolut untuk menguji hal tersebut. I do not accept any
absolute formulas for living. . . . No preconceived code
can see ahead to everything that
can happen in a man’s life. As we live, we grow, and our beliefs change. They
must change. So I think we live with this constant discovery. We should be open
to this adventure in height-ened awareness of living. We should stake our whole
existence on our willingness to explore and experience.
I wanted by this to express that
I did not rest on the broad upland of a system that includes a series of sure
statements about the absolute, but on a narrow rocky ridge between the gulfs
where there is no sureness of expressible knowledge but the certainty of
meeting what remains, undisclosed. Ketidaklanggengan relasi I-Thou oleh Buber
disebut sebagai “sebuah tragedi” dalam sejarah umat manusia.”
Salah satu ciri eksistensialisme
adalah pesimisme, yang disebut dreadful freedom oleh Marjorie Grene, karena
bagi setiap eksistensialis semuanya akan berakhir dengan kesedihan, ketakutan
dan kekecewaan belaka. Hal itu dapat kita mengerti mengingat pengalaman masa
kecil Buber. Perceraian orangtuanya ketika ia berusia tiga tahun sangat
menyakitkan dan menyebabkan kesedihan yang mendalam. Dalam usahanya untuk
menghilangkan kesedihan, ia
berusaha menciptakan relasi
dengan alam sekitarnya, yaitu ternak-ternak di peternakan milik kakeknya. Hal
ini terungkap dalam tulisannya, When I was eleven years of age, spending the
summer on my grandparents’ estate, I used, as often as I could do it
unobserved, to steal into the stable and gently stroke the neck of my darling,
a broad dapple-gray horse. It was not a casual delight but a great, certainly
friendly, but also deeply stirring happening. If I am to explain it now,
beginning from the still very fresh memory of my hand, I must say that what I
experienced in touch with the animal was the Other, the immense otherness of
the Other, which, however, did not remain strange like the otherness of the ox
and the ram, but rather let me draw near and touch it. When I stroked the
mighty mane, sometimes marvellously smooth-combed, at other times just as
astonishingly wild, and felt the life beneath my hand, it was as though the
element of vitality itself bordered on my skin, something that was not I, was
certainly not akin
to me, palpably the other, not
just another, really the Other itself; and yet it let me approach, confided
itself to me, placed itself elementally in the relation of Thou and Thou with
me. The horse, even when I had not begun by pouring oats for him into the
manger, very gently raised his massive head, ears flicking, then snorted
quietly, as a conspirator gives a signal meant to be recognizable only by his
fellow-conspirator; and I was approved. Buber menjelaskan bahwa ia bukan
penganut pantheisme namun panentheisme.
Karena baginya, Allah dapat
ditemui melalui dan di dalam apapun, termasuk alam (hewan, tumbuh-tumbuhan dan
bendabenda lainnya). Seorang panentheis percaya bahwa Allah ada di dalam segala
sesuatu, namun tidak berpandangan bahwa
Allah sama dengan segala sesuatu (God is all things and all things are God)
seperti keyakinan
seorang pantheis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar