Jumat, 21 Maret 2014

Power and Violence against Women” and “Conclusion: The Call to Reconciliation” in The Cry of Tamar: Violence against Women and the Church’s Response

Pamela Cooper-White, ch1 “Power and Violence against Women” and “Conclusion: The Call to Reconciliation” in The Cry of Tamar: Violence against Women and the Church’s Response

There are word and concept new for me :  a word “Poignant” (p.18)  and a concept of “Rape is power, not sex” (p.18)

The author talks about violence against women, and points that the roots of violence happened within women are caused by annihilation of connectivity of human relationship. It happens when in their relationship people want to take control of others and when there is no more relationship between people. People see other people only as an object of them (I-it relationship) and not see others as subject who share same humanity (I-thou relationship). Also point that power (to do and to be) in human is being as cause of violence against women.  It happens when people misuses their power to do and to be to oppress others, especially women. So they use their power to do and to be as a power-over others. It should be used as a power-within and power-with, when people share their humanity in I-Thou-We relationship.

I agree with the author when  she used Buber’s I-Thou dialectical philosophy about relationship to explain how important for us to re-image our relationship with one another, and also re-image our God. It is important because how we re-image God has everything to do with how we image our relationship with each other. It is better to reconstruct God’s image not only as God of love and justice, but also God’s image as mother, midwife, or one who enfolds humanity under a warm wing or as a compassionate God.

It is interesting that the text include discussion about power when it talks about violence against women.  The text helps us to understand that power to do and to be affects how we interact with one another. When the power is being misused (power-over), violence against woman (and also humanity) occur.


In term of acknowledge that violence can cause suffering and poignant, I found one compelling insights in the text. I quote “... God is not all-powerful to prevent human suffering, which would obviate humanity’s free will, but, rather, stands in solidarity with a suffering humanity” (p. 41). I observe that many churches (at least in Indonesia) talk about The Powerful God who will help us overcome our problems. Just giving all our problems up to God’s hand, and everything will be alright again. This understanding, for me, do not solve anything except just temporary escapement. More than that, it makes us become passive person and doing nothing. Also it can misguide us to a danger understanding that when there is nothing change in our life, or when suffering and poignant are still there in our life, people can think that God fails to help us. Actually God does not fail. God is with us in our time of suffering and agony. God shows solidarity with us. God wants us to know that God always be with us encounter our sufferings and also the roots of our suffering. Besides that, when we know that God is God with full solidarity to our suffering, we have to show our solidarity with others who feel suffering and experience agony in their life. So God, the Powerful God, stands in solidarity with a suffering humanity. God’s power becomes energy for us transforming of all things into good. We can deny that women still experience violence. When women suffer it does not mean that God does not do anything and keep silent. God is with women fully shows solidarity and compassion.

Two discussion questions .
a.       Martin Buber said that the best example for I-Thou relationship is in family (marriage relationship), but because many reasons the relationship become I-It relationship and violence occur among the family members, especially between husband and wife. How can we change I-It relationship become I-Thou relationship again?
b.      How do we as a church react to domestic violence that occurs within our church members? Especially in case when a woman already experience psychological and physical violence.




There are word and concept new for me : 

·         A word “Poignant” (p.18) :
According some dictionaries (offline and online dictionaries, ie. Collins Compact English Dictionary (Glasgow, HarperCollins Publisher, 2009), online Oxford Dictionary on http://oxforddictionaries.com/definition/english/poignant, Free online Dictionary by Farlex on http://www.thefreedictionary.com/poignant, online Merriam-Webster Dictionary on http://www.merriam-webster.com/dictionary/poignant) the meaning of word “poignant” is sharply distressing or painful to the feelings, because someone or something causing physical or psychological pain. It also means something that work with painful slowness. Something that is poignant touches you deeply, especially with painful feeling, suffering, agony, or misery.
·         And concept of “Rape is power, not sex” (p.18) :
Honestly before I read this text, my understanding of rape is only about man forces woman to submit to  sexual intercource without her consent, usually involves violences. It happen when man can not control his desire (or it is better to say, “his lust”) upon woman. And when man sees woman only as an object of his desire, not as an equal subject who has same equations as a human being. I do not think before that the root of raping  is about man misuses so called “power” against woman, not only about sex. About man miuses  power in his hand as a man and thinks that he is more better than woman, or more superior than woman, and treat woman as he wants. And I believe it is not only about raping but also about violence against woman, and against humanity. People do violence against other people because they think that they have power and right to do such violence to others.





Seluruh pandangan filsafat dialogis Buber tertuang dalam bukunya,Ich und Du (I and Thou)yang terbit pada tahun 1923. Menurutnya,awal dari segala sesuatu adalah relasi. Pada dasarnya manusia hidup dalam relasi, bahkan dalam berbagai macam relasi yang kompleks.Baginya, all real living is meeting,manusia tidak mungkin hidup terisolir tanpa melakukan relasi apa-apa.Ada tiga lingkup relasi dalam hidup manusia. Pertama, hidup bersama-sama dengan alam. Bagi Buber lingkup relasi ini “berada di bawah wilayah bahasa” (vibrates in the dark and remains below language).
Kedua, hidup bersama-sama dengan manusia yang lain. Hubungan dalam lingkup ini jelas dan nyata, dan memasuki wilayah bahasa (manifests and enters language).Ketiga, hidup bersama-sama dengan spiritual beings, relasi yang tidak memiliki bahasa tetapi menciptakannya (wrapped in cloud but reveals itself, it lacks but creates language).
Yang paling unik dari ketiga lingkup tersebut adalah relasi dengan manusia. Karena dalam relasi dengan manusia, bahasa dapat  digunakan dengan sempurna sehingga menjadi sebuah urutan dan percakapan yang berbalas-balasan.
Dalam ketiga lingkup tersebut manusia mempunyai dua relasi yang fundamental, “The attitude of man is twofold in accordance with the two basic words he can speak.” Relasi yang pertama adalah I-It, dan yang kedua adalah I-Thou. Menurut Buber, manusia akan menemukan dirinya sendiri, menjadi pribadi yang utuh dan dapat menemukan tujuan
hidupnya apabila ia mempunyai relasi I-Thou. Sebaliknya, hal-hal tersebut tidak dapat ditemukan dalam relasi I-It. Dalam relasi I-Thou, terjadi hubungan antarsubjek yang bersifat resiprok. Sedangkan dalam relasi I-It, manusia memperlakukan pihak lain sebagai objek. Menurutnya, hubungan I-Thou bukan sekadar pengalaman tetapi
kehadiran dan berupa relasi. Hubungan I-Thou bersifat spontan, tidak diikat oleh aturan-aturan serta melampaui ruang dan waktu. Bagi Buber, relasi I-Thou paling jelas dapat dilihat dalam hubungan pernikahan. Karena di dalam pernikahan setiap orang seharusnya memperlakukan pasangannya sebagai subjek dan bukannya sebagai objek.
Di antara pasangan suami isteri, relasi I-Thou berlangsung ketika setiap orang menunjukkan kasih kepada pasangannya. Relasi I-Thou tidak hanya ditemukan dalam hubungan antarmanusia, tetapi juga dalam hubungan antara manusia dan alam dan spiritual beings. Sebaliknya, relasi I-It tidak hanya dijumpai ketika ia berhubungan
dengan alam dan spiritual beings tetapi juga dalam hubungan dengan manusia yang lain. Hal itu tergantung pada apakah manusia memperlakukan hal lain itu sebagai objek atau membangun relasi dialogis antara subjek.
Buber memberikan kritik keras terhadap peradaban manusia modern. Menurutnya, dalam sejarah manusia makin memperbesar relasi I-It dan menghilangkan relasi I-Thou. Di tengah kemajuan modernisasi, manusia modern semakin mengalami dan menggunakan pihak lain (alam, manusia dan spiritual beings), memperlakukan pihak lain sebagai objek dan kehilangan relasi. Berbeda dengan komunitas primitif yang dengan segala kesederhanaannya justru sangat sedikit memperlakukan orang lain sebagai objek. Menurutnya, “dua kamar” kehidupan manusia modern, yakni ekonomi dan negara, makin menjajah dan membuat manusia menggunakan manusia lainnya. Di bidang ekonomi, manusia menggunakan barang-barang dan jasa, sedangkan dalam negara (politik), manusia menggunakan opini dan aspirasi orang lain.  Relasi I-Thou adalah relasi yang seharusnya dimiliki oleh manusia, namun di samping itu, manusia juga membutuhkan relasi I-It. Menurut Buber, relasi I-It sendiri tidak jahat selama manusia tidak memanipulasi,
“memperkosa,” mengubah, dan memperalat It. Ia menyatakan: “And in all the seriousness of truth, listen: without It a human being cannot live. But whoever lives only with that is not human.” Sayangnya, relasi I-Thou yang sangat baik itu tidak pernah langgeng, karena setiap relasi I-Thou selalu berubah menjadi relasi I-It.
I have already said that every Thou in our life is doomed to become an It, a thing. The man or woman whom we love, whom we seek to fulfill totally, becomes a given imperfect person with a known nature and quality. A young medical student dreams passionately of curing suffering humanity. Then he becomes a doctor in a crowded hospital, with pressure, with not enough time to devote to every patient. And the suffering humans become objects. They recede to the world of the It.

Eternal Thou
Relasi I-Thou mencapai puncaknya ketika manusia memasuki relasi I-Eternal Thou, yakni Allah sendiri. Pengalaman bertemu dengan Eternal Thou jauh lebih penting dari sebutan nama Allah. Banyak orang menyebut dan memakai nama Allah namun tidak pernah mengenal dan mengalami kehadiran-Nya sehingga menganggap Allah hanya sebagai
It. Bagi Buber, nama Allah berada jauh di atas pemahaman pikiran manusia. Karena Buber menganggap setiap penggambaran manusia tentang Allah pasti cacat, maka ia tidak berani menggambarkan Allah ke dalam nama-nama.
Bagi Buber sendiri ada hubungan yang sangat erat antara relasi dengan Allah dan relasi dengan hal-hal lain. Di dalam semua lingkup relasi, manusia dapat berjumpa dengan Eternal Thou. In every sphere, through everything that becomes present to us, we gaze toward the train of the eternal You; in each we perceive a breath of it; in every You we address the eternal You, in every sphere according to its manner.  Meskipun pertemuan dengan Eternal Thou berada di dalam relasi I-Thou, tetapi dengan tegas Buber membedakan Thou dengan Eternal Thou. Baginya, Thou dapat berubah menjadi It sedangkan Eternal Thou tidak.  Perubahan relasi I-Thou menjadi I-Eternal Thou hanya mungkin terjadi bila manusia menjadi keberadaan yang utuh, menghancurkan segala jenis tembok yang memisahkannya dengan pihak lain, serta melepaskan naluri untuk menguasai benda-benda. Seperti dalam relasi I-Thou, dalam relasi I-Eternal Thou juga manusia tidak boleh memperlakukan Allah sebagai objek. Buber mengemukakan, The only God worth keeping is a God that cannot be kept. The only God worth talking about is a God that cannot be talked about. God is no object of discourse, knowledge, or even experience. He cannot be spoken of, but he can be spoken to; he cannot be seen, but he can be listened to. Buber juga menyatakan bahwa Allah yang ia kenal (Allah orang Ibrani) berbeda dengan Allah orang Yunani. The Greeks visualized their gods and represented them in marble and in beautiful vase paintings. They also brought them on the stage. The Hebrews did not visualize their God and expressly forbade attempts to make of him an object—a visual object, a concrete object, any object.
Their God was not to be seen. He was to be heard and listened to. He was not an It but an I-or a You.
Banyak orang telah memanipulasi Allah untuk kepentingannya sendiri dalam bentuk doa dan korban (sacrifice). Doa dan korban—yang disebut oleh Buber sebagai dua hamba manusia yang agung—sebetulnya bukanlah alat untuk memanipulasi Allah seperti yang biasa dilakukan dalam mistisisme.
Melalui doa manusia dapat mencurahkan seluruh dirinya, perasaan dan juga jiwanya, serta bergantung sepenuhnya kepada Allah, meskipun ia tidak meminta apa pun dari Allah. Melalui korban, manusia dapat menyenangkan hati Allah dengan mempersembahkan bau-bauan dari korban bakaran mereka. Dalam mistisisme dan agama-agama lainnya, manusia “memanjatkan” korban dan doa tanpa melibatkan relasi antara dia dan Allah. Karena tujuannya hanya supaya Allah menerima korban tersebut lalu mengabulkan doa mereka sehingga semua keinginan mereka terpenuhi. Buber tidak hanya menekankan bahwa manusia tidak boleh memperlakukan Allah sebagai objek (pembicaraan, penyelidikan, pemuasan kepentingan diri sendiri), tetapi ia juga menyatakan bahwa Allah dan manusia saling membutuhkan. Baginya, Allah membutuhkan manusia sama seperti manusia juga membutuhkan Allah. That you need God more than anything, you know at all times in your heart. But don’t you know also that God needs you—in the fullness of his eternity, you? How would man exist if God did not need him, and how would you exist? You need God in order to be, and God needs you—for that which is the meaning of your life. Begitu dekatnya hubungan manusia dengan Allah sehingga Allah lebih dekat dengan manusia daripada manusia dengan dirinya sendiri. Of course, God is “the wholly other”; but he is also the wholly same: the wholly present. Of course, he is the mysterium tremendum that appears and overwhelms; but he is also the mystery of the obvious that is closer to me than my own I.
Meskipun hubungan I dengan Eternal Thou begitu eratnya, namun Buber masih membedakan natur Allah dengan manusia. Dengan mengutip pernyataan Schleiermacher, ia berpendapat manusia harus mempunyai feeling of dependence atau lebih tepatnya creature-feeling. Feeling of dependence atau creature-feeling ini bukan hanya perasaan tetapi merupakan kesadaran penuh bahwa manusia adalah makhluk ciptaan dan memiliki ketergantungan penuh kepada sang Penciptanya. Pertemuan manusia dengan Eternal Thou, sama seperti pertemuan dengan Thou, bersifat sangat spontan dan natural. Manusia tidak perlu mengadakan persiapan-persiapan, melakukan praktek-praktek tertentu atau bermeditasi untuk bertemu dengan Allah. Bahkan, manusia tidak memerlukan pengantara apapun dan siapa pun (termasuk Yesus) untuk bisa bertemu dengan Allah. The Jewish doctrine holds that a man can at any time return and be accepted by God. That is all. . . . What the Hebrew tradition stresses is not the mere state of mind, the repentance, but the act of return. And on Yom Kippur, the Day of Atonement, the Book of Jonah is read in synagogues the world over. . . . When God saw what they did, how they returned from their evil way, God repented of the evil that he had said he would do to them and did it not. . . . But the theology of Paul in the New Testament is founded on the implicit denial of this doctrine and so are the Roman Catholic and the Greek Orthodox churches, Lutheranism and Calvinism. Paul’s elaborate argument concerning the impossibility of salvation under the Torah (“the
Law”) and for the necessity of Christ’s redemptive death presuppose that God cannot simply forgive anyone who returns.

Ketika manusia berjumpa dengan Eternal Thou, ia mendapatkan penyataan (revelation) dari Allah. Bagi Buber, penyataan Allah kepada manusia bisa datang kepada siapa saja dan kapan saja, tidak terbatas melalui orang atau agama tertentu saja.

TANGGAPAN
Di tengah dunia yang makin individualistik dan egosentris ini, Buber dengan filsafat dialogisnya, memberi warna yang “menyegarkan.” Menurutnya, manusia akan menjadi manusia yang sesungguhnya hanya bila ia memperlakukan orang lain atau sesuatu sebagai subjek atau pribadi, tanpa maksud memperalat. Kenyataan yang terjadi saat ini justru
sebaliknya. Di tengah-tengah kesibukan dengan urusannya masingmasing, manusia tidak lagi memperhatikan manusia lain. Ia tidak menganggap orang lain sebagai subjek yang membutuhkan kasih dan penghargaan. Ia bukan hanya tidak menghargai manusia lain, bahkan memperalatnya demi kepentingannya sendiri. Manusia hanya dijadikan objek eksploitasi oleh manusia lainnya. Dengan begitu, seperti dikatakan Buber, manusia modern bukan manusia yang sesungguhnya karena belum mencapai taraf relasi I-Thou. Manusia sekarang bahkan tidak memiliki hubungan I-It yang wajar karena ia memanipulasi, memperalat dan “memperkosa” It (baca: manusia lainnya) untuk kepentingannya sendiri. Karena itu, agar manusia dapat menjadi “manusia” yang sesungguhnya ia harus memperlakukan manusia lain sebagai subjek, menciptakan relasi dengannya, tanpa bermaksud untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri
Berkaitan dengan Eternal Thou, Buber memberikan pernyataan yang sangat menarik, yaitu hubungan I-Eternal Thou harus dibarengi dengan hubungan I-Thou. Jadi, tidak mungkin seseorang mempunyai hubungan yang baik dengan Allah tanpa memiliki hubungan yang baik dengan sesamanya. Sebenarnya, pandangan tersebut ada di Alkitab. Alkitab
mengajarkan bahwa hukum yang paling utama dan terutama adalah mengasihi Allah dan sesama manusia (Mat. 22:37-40). Tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa ia mengasihi Allah yang tidak kelihatan tetapi membenci sesamanya yang kelihatan (1Yoh. 4:20). Pergumulan Buber mengenai Allah berawal dari ketidakpuasannya
atas ritual dan tata cara keagaaman yang kaku. Baginya, ritual dan tata cara tersebut tidak membawa dirinya kepada Allah. Pergumulan itu akhirnya membuat Buber menjadi seorang eksistensialis yang menanggalkan semua aturan yang dibuat oleh manusia lain dan menentukan sendiri hidupnya. Pergumulan seperti yang dialami Buber amat mungkin dialami juga oleh orang Kristen di Indonesia. Sangat mungkin mereka menjadi frustrasi karena tidak “berjumpa” dengan Allah melalui semua ritual gerejawi yang amat rutin dan “kering.” Karena itu, gereja berkewajiban membawa setiap jemaatnya “berjumpa” dengan Allah, dengan memberi perhatian dan penggembalaan yang benar-benar
“menyentuh,” bukan hanya sekadar formalitas dan artifisial belaka. Kelemahan terbesar dari filsafat dialogis Buber terletak pada subjektivitas hubungan tersebut. Buber menyatakan bahwa hubungan I-Thou bersifat spontan, melampaui aturan-aturan, ruang dan waktu. Dengan demikian, setiap orang dapat saja mengklaim dirinya telah
mengalami relasi I-Thou. Karena tidak ada standar universal yang dapat dijadikan patokan untuk mengukur apakah hubungan tersebut benarbenar I-Thou dan bukan I-It. Menurut Panko, satu-satunya standar untuk mengidentifikasi hubungan I-Thou adalah kekayaan dari hubungan itu sendiri. Tidak ada seorang pun yang dapat menentukan apakah suatu hubungan adalah relasi I-Thou atau bukan, selain dirinya sendiri. Bagi Buber sendiri, tidak ada formula yang absolut untuk menguji hal tersebut. I do not accept any absolute formulas for living. . . . No preconceived code
can see ahead to everything that can happen in a man’s life. As we live, we grow, and our beliefs change. They must change. So I think we live with this constant discovery. We should be open to this adventure in height-ened awareness of living. We should stake our whole existence on our willingness to explore and experience.
I wanted by this to express that I did not rest on the broad upland of a system that includes a series of sure statements about the absolute, but on a narrow rocky ridge between the gulfs where there is no sureness of expressible knowledge but the certainty of meeting what remains, undisclosed. Ketidaklanggengan relasi I-Thou oleh Buber disebut sebagai “sebuah tragedi” dalam sejarah umat manusia.”
Salah satu ciri eksistensialisme adalah pesimisme, yang disebut dreadful freedom oleh Marjorie Grene, karena bagi setiap eksistensialis semuanya akan berakhir dengan kesedihan, ketakutan dan kekecewaan belaka. Hal itu dapat kita mengerti mengingat pengalaman masa kecil Buber. Perceraian orangtuanya ketika ia berusia tiga tahun sangat menyakitkan dan menyebabkan kesedihan yang mendalam. Dalam usahanya untuk menghilangkan kesedihan, ia
berusaha menciptakan relasi dengan alam sekitarnya, yaitu ternak-ternak di peternakan milik kakeknya. Hal ini terungkap dalam tulisannya, When I was eleven years of age, spending the summer on my grandparents’ estate, I used, as often as I could do it unobserved, to steal into the stable and gently stroke the neck of my darling, a broad dapple-gray horse. It was not a casual delight but a great, certainly friendly, but also deeply stirring happening. If I am to explain it now, beginning from the still very fresh memory of my hand, I must say that what I experienced in touch with the animal was the Other, the immense otherness of the Other, which, however, did not remain strange like the otherness of the ox and the ram, but rather let me draw near and touch it. When I stroked the mighty mane, sometimes marvellously smooth-combed, at other times just as astonishingly wild, and felt the life beneath my hand, it was as though the element of vitality itself bordered on my skin, something that was not I, was certainly not akin
to me, palpably the other, not just another, really the Other itself; and yet it let me approach, confided itself to me, placed itself elementally in the relation of Thou and Thou with me. The horse, even when I had not begun by pouring oats for him into the manger, very gently raised his massive head, ears flicking, then snorted quietly, as a conspirator gives a signal meant to be recognizable only by his fellow-conspirator; and I was approved. Buber menjelaskan bahwa ia bukan penganut pantheisme namun panentheisme.
Karena baginya, Allah dapat ditemui melalui dan di dalam apapun, termasuk alam (hewan, tumbuh-tumbuhan dan bendabenda lainnya). Seorang panentheis percaya bahwa Allah ada di dalam segala sesuatu, namun tidak  berpandangan bahwa Allah sama dengan segala sesuatu (God is all things and all things are God) seperti keyakinan

seorang pantheis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar