Kudu bisa pindah cai pindah tampian
(Tulisan ini telah dipublikasikan dalam Buku HUT ke-80 GKP)
Abstraksi
Kebudayaan adalah modal untuk
mekonstruksi teologi lokal bagi gereja. Nilai-nilai di dalamnya adalah kekayaan
luar biasa yang dapat dipergunakan untuk dapat mengkomunikasikan berita kabar
baik tentang Kristus. Dalam upaya untuk merancang bangun teologi lokalnya,
Gereja Kristen Pasundan haruslah memperhatikan kekayaan budaya-budaya yang ada,
dalam hal ini salah satunya adalah budaya Sunda, sambil tetap tidak melupakan
untuk tetap kritis tidak terjebak pada romantisme budaya seraya tetap
memberikan perhatian pada teologi dan tradisi gereja yang selama ini ada.
Selain itu, Gereja Kristen Pasundan harus tetap memberikan perhatian pada
refleksi teologis atas teks dan konteks Alkitab, serta konteks kehidupan
masyarakat dimana ia berada. Refleksi teologis yang pada akhirnya berbentuk
respon gereja terhadap persoalan-persoalan sosial yang ada di dalam masyarakat,
dinamika kehidupan di dalamnya dan upaya menghasilkan usaha transformasi sosial
di dalamnya.
Pendahuluan
Penulis sadar tidak lahir sebagai orang Sunda, dan
memiliki pengalaman yang cukup tentang budaya Sunda. Ketertarikan terhadap
sebuah budaya Sunda dan unsur-unsurnya semata-mata lahir dari kenyataan berada
di tengah-tengah budaya itu sendiri. Untuk hal ini, penulis teringat pendapat
Stephen Bevans, bahwa seseorang yang tidak benar-benar berasal dan berbagi
pengalaman utuh terhadap suatu budaya (karena tidak berasal dari lingkungan
budaya tersebut) dapat berkonstribusi dalam konstrusksi teologi kontekstual di
tengah budaya ia berada saat ini.[2]
Oleh karena itu, sebagai orang yang meski bukan berasal dari tengah budaya Sunda,
tetapi hidup di tengah masyarakat Sunda, penulis memberanikan diri untuk
mencoba melihat dan menemukan adanya kekayaan unsur budaya Sunda yang dapat
dipergunakan sebagai sumber berharga dalam pelayanan Gereja Kristen Pasundan.[3]
Syaratnya, menurut Bevans, adalah adanya keinginan yang dalam untuk
berpartisipasi dalam budaya tersebut dengan cara belajar dan mengapresiasi
berbagai tulisan sosiologis dan antropologis dari budaya yang dimaksud.[4]
Kebudayaan: Ragam Pengertian
Edward Bennet Tylor dalam
bukunya Primitive Culture: Research into
the Development of Mythology Religion, Arts and Custom (Boston: Estes &
Lauriat, 1874) mencatat ada sekitar 170 definisi budaya. Budaya adalah
keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum,
kebiasaan dan kapabilitas dan kebiaasaan lain yang dibutuhkan oleh manusia
untuk menjadi bagian dari suatu masyarakat, atau dengan kata lain adalah
keseluruhan hidup manusia itu sendiri.
Manusia selalu berinteraksi
dengan manusia lain. Dalam interaksinya, terjadi pertukaran (saling berbagi)
konsep nilai, kebiasaan, pola pikir, ide-ide dan cara hidup dengan orang lain.
Di dalam berkebudayaan, manusia saling berbagi kesamaan dan komunalitas hidup
dan pada saat bersamaan, dengan berkebudayaan manusia dapat membedakan satu
komunitas hidup dengan komunitas lainnya. Ada proses belajar dari manusia
lainnnya dalam bentuk simbol, nilai, dan aktivitas kehidupan lainnya. Oleh
karena itu, dapatlah dikatakan manusia itu mempengaruhi dan dipengerahui oleh
budaya. [5]
Ada dua level kebudayaan, yaitu level permukaan dan
level dalam. Level permukaan adalah pola-pola budaya yang ditemukan dalam apa
yang manusia lakukan, pikirkan dan rasakan. Sedangkan level dalam adalah pola
budaya dalam bentuk memilih, merasakan, beralasan, menginterpretasikan,
menilai, menjelaskan, menghubungkan satu hal dengan hal lain, berkomitmen
terhadap manusia lain, beradaptasi dan dalam memutuskan untuk mengadakan
perubahan di sekitar kehidupannya .[6]
Dua level budaya ini adalah tentang bentuk budaya yang kelihatan (tangible) dan yang tidak tidak kelihatan
(intangible dalam bentuk worldview atau cara pandang). Kebudayaan
adalah pola-pola dalam kehidupan yang ditransmisikan sepanjang sejarah dan
hadir dalam simbol-simbol, konsep-konsep yang diwariskan dan diekspresikan
secara simbolik serta dikomunikasikan manusia, diabadikan manusia dan
dikembangkan dalam sistem pengetahuan dan prilaku melalui kehidupan manusia
sehari-hari. [7]
Sebagai keuniversalitasan manusia (human universal), budaya menunjukkan
kesamaan manusia dalam komunitasnya, sekaligus membedakan manusia tersebut dari
komunitas lainnya. Kebudayaan adalah pembeda manusia dalam masing-masing
komunitasnya (highlight of human
diversity). Oleh karena itu, kebudayaan menjadi semacam sebuah konsensus
sosial dalam suatu masyarakat yang mengkonstruksi sifat dasar manusia.
Kebudayaan di satu sisi membentuk manusia, tetapi di sisi lain dibentuk oleh
manusia. Kebudayaan menjadi pembeda sosiologis dari manusia dan karenanya tidak
ada satu bentuk kebudayaan pun yang dapat mengklaim dirinya lebih baik dari
bentuk kebudayaan lain. [8]
Antropolog Indonesia, Koentjaraningkrat menuliskan ada
tiga bentuk kebudayaan. Pertama adalah keseluruhan ide, gagasan, perasaan,
nilai, norma dan aturan. Bentuk kedua adalah segala aktifitas manusia di dalam
lingkungannya, dan bentuk ketiga adalah keseluruhan kerja manusia. [9]
Ketiga bentuk kebudayaan tersebut memiliki dua lapisan, yaitu lapisan ideal
seperti sistem nilai, sistem norma, dan lapisan sistem sosial seperti prilaku,
perbuatan dan produk manusia yang terpolakan. Lapisan yang pertama lebih
abstrak ketimbang yang kedua. [10]
Sebuah kebudayaan lokal adalah contoh dari sebuah sistem nilai dan aturan yang
mengatur hidup sehari-hari manusia, seperti tata krama dan nilai kepantasan
dalam hubungan. Lapisan kedua, memiliki wujud yang lebih riil yaitu hasil karya
manusia seperti bangunan, tarian, lagu dan lain sebagianya. Lapisan yang
pertama jelas amat mempengaruhi bahkan menjadi dasar terbentuknya lapisan yang
kedua (bentuk fisik). Kebudayaan itu sendiri memiliki tujuh elemen yang
bersifat universal, yaitu seni, teknologi, sistem organisasi sosial, bahasa,
sistem ekonomi, sistem kehidupan, sistem pengetahuan dan agama. [11]
Kontekstualisasi: Upaya Berteologi
Secara Lokal
Dalam upaya untuk berteologi
secara lokal, maka usaha-usaha kontekstuliasi adalah pilihan yang harus
diambil. Ada sejumlah istilah dan penjelasan istilah kontekstualisasi. Mulai
dari akulturasi sebagai bentuk pertemuan dua budaya yang saling berinteraksi.
Budaya yang bertemu dapat mengalami perubahan seiring dengan interaksi yang saling
mempengaruhi tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan sikap saling menghargai dan
bertolenrasi dari masing-masing budaya. [12]
Ada juga istilah interkulturasi yang mengacu pada tindakan dan aksi memasukkan
pesan kekristenan ke dalam satu bentuk budaya tertentu. Aksi ini biasa terjadi
di dalam proses penginjilan. Ada usaha mengakomodasi dan mengadopsi pesan-pesan
kekristenan ke dalam bentuk ekspresi budaya yang dapat dimengerti dan dipahami
oleh manusia yang berada di dalam budaya bersangkutan. [13]
Istilah ketiga adalah inkulturasi, yaitu proses kreatif dan dialog dinamis
antara pesan kekristenan dengan budaya (atau budaya-budaya). Kemungkinan yang
terjadi adalah terjadinya transformasi budaya ke bentuk yang lain. Aylward
Shorter menjelaskan bahwa inkulturasi adalah kata yang paling tepat untuk
menjelaskan kata “kontekstualisasi”.[14]
Inkulturasi bukan saja memasukkan pesan-pesan kekristenan ke dalam suatu bentuk
kebudayaan bukan Kristen, tetapi juga melibatkan seluruh aspek hidup manusia
yang ada di dalamnya, seperti seni budaya tradisional, spiritualitasnya dan
lain sebagainya. Dalam inkulturasi terjadi dialog instens antara pesan-pesan
kekristenan dengan dunia yang memang sudah kaya akan keragaman dan keunikan
budayanya masing-masing.
Selain ketiga istilah di atas, kontekstualisasi juga melibatkan adanya usaha
indigenisasi sebagai sebuah respon dari pesan-pesan kekristenan di dalam
kerangka sebuah kebudayaan dan juga memberi perhatian pada situasi dan kondisi
yang terjadi di dalam suatu konteks kehidupan tertentu seperti perhatian pada
fenomena sekularisasi, perkembangan iptek, pergumulan hak asasi manusia,
perjuangan keadilan dan isu-isu sosial yang terjadi di tengah masyarakat.
Kontekstualisasi seperti ini, menurut Shoki Coe, seharusnya bukan sekedar “Contextual Theology” tetapi “Contextualizing Theology” atau dengan
kata lain “teologi yang mengkontekstulisasikan”. Di titik ini, gereja harus
memahami bahwa dirinya tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai garam dan
terang bila mengalami keterpisahan dengan dunia dan realitas yang ada di
dalamnya. [15]
Jadi dalam disimpulkan, kontekstulisasi adalah praksis
dari pikiran, perkataan dan perbuatan orang percaya (baca: gereja) yang
berlandaskan imannya dan berlangsung di tengah-tengah situasi kehidupan
kekinian. Praksis gereja di tengah masyarakatnya dan realitas yang ada di
dalamnya. [16]
Praksis yang adalah implikasi iman, bukan sekedar aplikasi iman, yang berangkat
dari kedalaman pemahaman Alkitabiah yang menuju pelaksanaan tugas panggilan di
dalam dunia. [17]
Kontekstualisasi menjadi sebuah usaha interpretasi Alkitab secara benar dan
pada saat bersamaan, mengkomunikasikan pesan-pesan kekristenan secara efektif
di dalam sebuah konteks budaya, sekaligus menjadi upaya menghargai isi pesan
kekristenan melalui dan di dalam budaya tersebut. [18]
Di dalam kehidupan di Asia, kontekstualisasi adalah reaksi
terhadap dominasi budaya barat atas budaya Asia yang kaya, dan sebagai sebuah
perjumpaan bahkan proses pembaruhan isi teologi Kristiani di dalam suatu budaya
lokal. Gereja berusaha memformulasikan imannya secara khas sesuai dengan
konteks keberadaannya, termasuk di dalam dan melalui budaya yang ada di
sekitarnya. [19]
Kontekstualisasi menjadi semacam upaya “mengupas kulit bawang” teologi barat
dan menemukan penafsiran sesungguhnya dari isi Alkitab, serta menerjemahkannya
dalam pemahaman konteks lokal di masing-masing budaya (dhi. budaya Asia). Hanya
saja, kontekstualisasi harus lebih dari sekedar usaha indigenisasi, yaitu
memberikan sentuhan dan rasa Asia pada teologi lokal, pada musik, pada liturgi
tetapi juga pada usaha memahami pesan-pesan Alkitabiah dalam konteks budaya
sendiri. Kontekstualisasi adalah usaha memahami pesan-pesan kekristenan di
dalam budaya masing-masing. Oleh sebab itu, seharusnya teologi yang selalu
kontekstual itu perlu bersentuhan dengan pengalaman hidup manusia, dengan
lokasi sosial, bentuk budaya yang khas dan setiap perubahan sosial yang terjadi
di dalamnya. [20]
Memulai Teologi Lokal bagi Gereja
Kristen Pasundan
Berteologi lokal dapat dimulai dari budaya lokal
sebagai modalnya. Untuk itu kita dapat merujuk pada pandangan seorang teologi
Asia, Peter C. Phan. Bagi Phan, kekayaan budaya di Asia (termasuk tentunya di
Indonesia) yang terdiri dari begitu banyak unsur budaya, seperti cerita rakyat,
tarian, puisi dan sajak, seni visual, simbol-simbol budaya dan bahkan mitos
lokal, adalah sebagian dari modal untuk dapat memulai rancang bangun sebuah
teologi lokal. Modal lainnya adalah cerita tentang penderitaan, harapan,
kekecewaan, penindasan, kebencian, kebahagiaan dan pergumulan yang dialami
masyarakat di Asia dalam mencapai dan meraih kebebasan dan kemerdekaan, cerita
tentang penindasan terhadap kaum perempuan dan kaum minoritas.[21]
Oleh sebab itu, Gereja Kristen Pasundan menyadari diri
perlunya untuk mempelajari budaya lokal yang ada di sekitarnya, dan dalam hal
ini adalah salah satunya budaya Sunda. Inilah modal awal untuk memulai rancang
bangun teologi lokal, yaitu dengan belajar dari antara lain kearifan lokal yang
ada di dalam kebudayaan Sunda, dan juga konteks kehidupan yang ada di
sekitarnya, yaitu adanya pluralitas atau kemajemukan agama, budaya-budaya lain
dan kenyataan kemiskinan serta ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat. [22]
Lalu bagaimana GKP dapat memulainya? Gereja Kristen
Pasundan dapat memulainya dengan memperhatikan penjelasan Schreiter di dalam
tulisannya di bukunya Constructing Local
Theologies. Pertama-tama Gereja Kristen Pasundan tetap perlu melihat
pengaruh teologi apa yang ada di dalam sejarahnya. Untuk itu Gereja Kristen
Pasundan tetap perlu melihat pengaruh teologi dan tradisi Calvinis di dalam kehidupan
bergerejanya. Pengaruh pietisme zaman zendeling yang masih terasa dan membentuk
teologi Gereja Kristen Pasundan saat inipun tidak boleh luput untuk dipelajari,
dan juga pengaruh teologi-teologi lain yang ada di sekitar kehidupan Gereja
Kristen Pasundan dan memberi pengaruh langsung atau tidak langsung pada
pemahaman eklesiologi Gereja Kristen Pasundan. Semuanya ini harus dilihat dan
dipelajari secara kritis karena teologi dan tradisi yang selama ini ada dapat
menjadi, baik sebagai penunjang atau justru penghambat dalam upaya Gereja
Kristen Pasundan merekonstrusi teologi lokalnya. [23]
Langkah kedua, Gereja Kristen Pasundan perlu “membuka”
unsur budaya yang ada di sekitarnya, yaitu yang ada di tatar Pasundan. Gereja
Kristen Pasundan harus mendengar dan menemukan nilai-nilai,
kebutuhan-kebutuhan, daya tarik, dan simbol-simbol yang ada di dalam budaya
tersebut. Gereja Kristen Pasundan harus berusaha menangkap secara sekaligus
keutuhan dan kekompleksitasan dari unsur budaya yang ada. Usaha ini harus
diikuti dengan kesadaran kritis untuk tidak terjebak pada romantisme budaya,
karena dapat menghilangkan kemampuan untuk mengadakan transformasi sosial di
dalam masyarakat dengan budaya tersebut. Dengan mempelajari (membuka) unsur
budaya, Gereja Kristen Pasundan sedang berusaha mencari celah kesempatan untuk
mengadakan transformasi sosial dalam konteksnya.[24]
Pesan-pesan dan tema-tema Kristiani, seperti keselamatan, pertobatan, perubahan
dan ekskatologi, haruslah diperhadapkan dengan budaya dalam usaha mengadakan
transformasi sosial. Jadi, upaya konstruksi teologi lokal bagi Gereja Kristen
Pasundan hendaknya adalah usaha dan proses untuk menemukan Kristus yang sudah
ada di dalam budaya dan usaha untuk membawa Kristus ke dalam budaya, serta
upaya untuk memiliki pemahaman yang utuh tentang Kristus melalui dan di dalam
budaya untuk menciptakan sebuah perubahan sosial.
Langkah selanjutnya adalah menganalisa unsur dan tema
budaya yang memilki kemungkinan untuk dipergunakan dalam mekonstruksi teologi
lokal. Ada dua prinsip, yaitu mencari dan menemukan kebutuhan dan urgensi dalam
budaya, dan pola-pola dalam budaya yang menentukan sesuatu dilakukan di dalam
budaya bersangkutan. Misalnya, tema “pengorbanan” dan “pengosongan diri” dari
Kristus yang tersimbolkan dalam perjamuan kudus, dapat menjadi simbol dari
perjuangan sosial. Gereja Kristen Pasundan dapat berusaha mencari tema-tema
sejenis yang dapat memberikan dampak pada pola budaya yang ada, dan juga
bagaimana pesan-pesan tersebut dikomunikasikan melalui budaya yang ada. Gereja
Kristen Pasundan dapat mencari, mempelajari dan menggunakan misalnya puisi,
musik, lagu dan pepatah dalam budaya untuk mengkomunikasikan tema-tema
Kristiani tersebut.[25]
Jadi, bicara tentang mekonstruksi teologi lokalnya,
Gereja Kristen Pasundan perlu terus memberi perhatian pada antara lain tradisi
gereja yang ada, pengaruh-pengaruh teologi dalam kehidupannya (teologi dan
tradisi Calvinis), pengaruh gerakan pietisme di dalam sejarahnya dan budaya
yang ada sekitarnya. Gereja Kristen Pasundan harus berusaha terus untuk melihat
koneksi atau hubungan antara tema-tema lokal dan kebutuhan, baik di dalam
kontennya, konteksnya dan bentuknya. Ada usaha untuk memperhadapkan dan membuat
perjumpaan antara tradisi gerejanya dan tema-tema lokal yang ada di sekitarnya,
dan mencari mencari kesamaan pengalaman dengan sekitarnya dalam memformulasikan
teologi lokalnya (dalam hal ini dapat berupa isu-isu sosial yang berkembang,
seperti pembebasan, kemiskinan, worldview
berupa kearifan lokal terhadap relasi antar manusia, manusia dengan Tuhan,
manusia dengan alam dsb). Dengan demikian, Gereja Kristen Pasundan dapat
memiliki kesempatan dan kemungkinan yang lebih baik untuk dapat memperluas
pemahamannya terhadap realitas kehidupan dan realitas tentang Kristus itu sendiri.
Teologi lokal adalah teologi yang memiliki penekanan
pada usaha perjumpaan tradisi gereja dan tema-tema Kristiani dengan kenyataan
hidup masyarakat di sekitarnya. Dalam teologi lokal, harusnya ada usaha untuk
mencari kesejajaran tema Kristiani dengan isu sosial yang terjadi seperti kemiskinan
dan ketidakadilan sosial serta perjuangan untuk kebebasan dan hak asasi
manusia. Dengan teologi lokalnya, Gereja Kristen Pasundan dapat bereaksi
terhadap isu-isu sosial dan berkonstribusi terhadap upaya-upaya mencari jalan
keluar dari masalah-masalah sosial dalam konteks kehidupannya. Oleh karena itu,
perlu terus diingat, teologi lokal Gereja Kristen Pasundan haruslah berdampak
positif pada situasi sosial dan kultural dimana Gereja Kristen Pasundan berada,
yaitu khususnya di Jawa bagian barat. Inilah teologi lokal bagi Gereja Kristen
Pasundan, yaitu sebuah kebutuhan teologis gereja untuk dapat berespon terhadap
masyarakatnya dan isu sosial yang terjadi di dalamnya. Teologi lokal adalah
upaya profetik Gereja Kristen Pasundan untuk memperhadapkan pemahamannya
terhadap teks dan konteks biblika dengan konteks kehidupannya sehari-hari.
Upaya yang dapat mencetus perubahan sosial melalui refleksi teologis, pelayanan
dan kesaksian Gereja Kristen Pasundan.
Aktor dari teologi lokal ini adalah seluruh warga jemaat Gereja Kristen
Pasundan dan nampak dalam keseluruhan usahanya untuk melaksanakan panggilannya
bersekutu, melayani dan bersaksi sebagai gereja bagi sesama.
Teologi Lokal: Pilihan yang Diambil
Menemukan dan membangun teologi lokal adalah tugas
bersama dari seluruh bagian Gereja Kristen Pasundan. Untuk itu, Gereja Kristen
Pasundan dapat mulai dengan mendalami terlebih dahulu apa yang sebenarnya
dimaksud dengan teologi lokal itu.
Schreiter berpandangan ada tiga model dari teologi
lokal (doing local theologies), yaitu
model penerjemahan, model adaptasi dan model kontekstual.[26]
Model pertama mulai dari tradisi yang ada dalam gereja dan memasukkannya kepada
setting-an kultural lokal. Hal ini
nampak misalnya dalam mengadopsi nilai-nilai lokal ke dalam ritual Kristen,
ajaran, lagu, liturgi dan juga penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa lokal.
Model pertama ini menolong gereja menemukan kesamaan konsep Kristiani di dalam
bahasa lokal setempat. Model kedua, model adaptasi memiliki perhatian utama
untuk mencari cara bagaimana menggunakan elemen budaya lokal dalam kehidupan
bergereja. Model ini mencoba memperjumpakan kekristenan dengan budaya lokal.
Ada usaha untuk mencari kesejajaran antara nilai-nilai budaya lokal dengan
teologi barat. Model kedua ini adalah usaha menanam benih kekristenan ke dalam
konteks lokal, dan membiarkan benih tersebut mengalami interaksi dengan “tanah”
tempat ditabur, yaitu konteks lokal. Model kedua ini dapat menghasilkan bentuk
baru kekristenan (new flowering
Christianity).[27]
Model ketiga berkonsentrasi pada budaya lokal ketimbang pada nilai-nilai
kekristenan itu sendiri. Pada dua model pertama, konsentrasinya adalah
bagaimana membuat nilai-nilai kekristenan dapat diterima di dalam budaya lokal,
sedangkan pada model ketiga ini perhatiannya adalah pada konteks budaya lokal
dimana kekristenan itu bertumbuh.[28]
Perhatian utama model ketiga adalah konteks sosial, dengan dua pendetakan,
yaitu pendekatan etnografis dan pendekatan teologi pembebasan. Pendekatan etnografis
memberi perhatian pada identitas budaya lokal, sementara pendekatan teologi
pembebasan adalah pada dinamika perubahan sosial yang terjadi dalam konteks
dimaksud. Pendekatan etnografis mencoba mencari harmoni dan perdamaian hidup
melalui studi terhadap identitas budaya lokal, dan mencoba mendapatkan
stabilitas kehidupan sosial di dalam konteks budaya lokal. Tetapi sayangnya,
ada satu hal yang terlupakan, yaitu kemungkinan untuk melakukan transformasi
sosial pada konteks. Jebakannya adalah romantisme budaya lokal. Pendekatan teologi pembebasan lebih menolong
gereja untuk menemukan dan mempergunakan pandangan Alkitabiah dalam menghadapi
persoalan-persoalan sosial yang terjadi dalam konteks. Meskipun masing-masing
model ini punya kekurangan dan kelebihan, Schreiter menegaskan ketiganya saling
mengisi satu sama lain dan dapat dipergunakan secara bergantian sesuai dengan
kebutuhan.[29]
Selain apa yang ditawarkan Schreiter, Bevans juga
menawarkan model-model teologi lokal, yaitu
countercultural, translation model, the synthetic model, the praxis model, the
transcendental model dan anthropological
model.[30]
Terhadap keenam model ini, Bevans berpandangan:
The most radical of the six models, the anthropological
model, will emphasize cultural identity and its relevance for theology more
than scripture or tradition, which it considers important but a product of
contextually relative theologies that have been hammered out in vary particular
contexts … the view of the transcendental model focuses not on a content to be
articulated but on the subject who is articulating. The hope here is that if
one is personally authentic in one’s faith and in one’s being-in-the-world, one
will be able to express one’s faith in an authentically contextual manner.[31]
Dari
enam model yang ditawarkan oleh Bevans, model pertama yaitu countercultural model adalah model yang
paling konservatif dengan bersandar penuh pada tradisi Alkitab, sementara anthropological model adalah model yang
paling progresif, dengan memberikan perhatian pada konteks kehidupan di mana
gereja berada yaitu yang terdiri dari pengalaman hidup manusia, kebudayaan yang
mempengaruhi dan dipengaruhi manusia, kondisi dan situasi sosial, pada dinamika
perubahan sosial.
Dari model-model teologi kontekstual yang ada, baik
yang Schreiter maupun Bevans utarakan, maka ada baiknya Gereja Kristen Pasundan
memberikan perhatian lebih pada model terakhir yang Bevans sodorkan, yaitu
model antropologis. Model ini memberikan perhatian pada pengalaman manusia
dalam konteks budaya dan dinamika perubahan sosial, sama seperti bagaimana
Allah bekerja di dalam pengalaman hidup manusia, dalam budaya dan dalam setiap
perubahan sosial yang terjadi. Dengan menggunakan model antropologis, teologi
memiliki koneksi erat dengan situasi kekinian dan konteks hidup. Model ini
mencoba memahami relasi manusia yang membentuk suatu budaya dimana Allah
bekerja dan hadir. Model ini memberikan perhatian khusus pada identitas manusia
di dalam budayanya dan mencoba menemukan simbol-simbol dan konsep-konsep di
dalam budayanya untuk mengartikulasi iman kristianinya. Model ini tidak menolak
pentingnya pemahaman Alkitabiah, atau pentingnya studi terhadap pengalaman
hidup manusia di dalam budaya, perubahan sosial dan perubahan budaya, tetapi
juga pada identitas kulturalnya.[32]
Dalam model antropologis ini, penyataan Allah bukanlah pesan terpisah dari
budaya manusia, tetapi justru ada dan hadir di dalam budaya. Lewat menggunakan
model ini, pesan-pesan Alkitab dibaca sebagai produk yang memiliki latar sosial
dan kultural dari pengalaman hidup orang Israel dan komunitas Kristen mula-mula
sesuai dengan konteks pada saat itu, dan bukan sebagai semata-mata produk
teologi barat. Penyataan dan manifestasi Allah pada akhirnya dilihat sebagai sesuatu
yang “tersembunyi” di dalam nilai-nilai dan perubahan-perubahan sosial di dalam
suatu konteks tertentu. Model ini akan membuat kekristenan “menantang” suatu
budaya dan mengubahnya secara radikal. Ada usaha untuk menemukan kesamaan
antara nilai dalam suatu konteks budaya dengan nilai kekristenan itu sendiri,[33]
usaha untuk menemukan sebanyak mungkin nilai-nilai positif dalam seluruh karya
cipta Allah, termasuk di dalamnya budaya dan elemen-elemennya. Titik awal model
ini adalah pengalaman hidup manusia yang terjadi saat ini, bukan di masa lalu
dan keunikkan yang ada dalam setiap budaya. Penekannya adalah mencari keunikan
dalam setiap budaya, ketimbang mencari apa yang sama di antara budaya-budaya.
Bevans, dengan mengutip pandangan dari Konferensi Bishop di Asia Timur,
mengatakan bahwa model antropologis mempergunakan elemen-elemen dalam budaya
Asia seperti tradisi asketis dan ajaran serta praktek etika Asia untuk
mempromosikan teologi lokal di Asia.[34]
Model ini menolong kekristenan melihat praktek iman kekristenan di tengah dan
di dalam budaya dan konteks, meski perlu disikapi dengan hati-hati adanya
bahaya romantisme kultural yang dapat menyebabkan ketumpulan daya pikir kritis
terhadap budaya itu sendiri.
Dari sini, kita dapat belajar bahwa Gereja Kristen Pasundan
dapat melihat dan belajar tentang sumber-sumber yang dapat dipergunakan untuk
membangun teologi lokalnya dan model upaya kontekstualisasinya. Sumber utamanya
adalah kearifan lokal budaya Sunda sebagai bentuk terdalam dari budaya Sunda,
dan dengan mempergunakan model antropologis sebagai model usaha
kontekstualisasi gereja yang memberi ruang besar untuk memperhatikan identitas
budaya dimana Gereja Kristen Pasundan berada.
Jadi, kontekstualisasi (model antropologis) sebagai
bentuk teologi lokal Gereja Kristen Pasundan haruslah dimengerti lebih dari
sekedar ekspresi iman dalam gereja dengan mempergunakan elemen budaya, tetapi
sebagai keseluruhan ekspresi iman yang hadir dalam keseluruhan aspek hidup
manusia yang mengalami transformasi oleh Injil Kristus. Martasudjita mengatakan
hal ini sebagai “suatu proses yang terus menerus dalam nama Injil, diungkapkan
ke dalam suatu dimensi sosio-politis dan religious-kultural dan sekaligus Injil
itu menjadi daya dan kekuatan yang mengubah dan mentransformasikan situasi
tersebut dan kehidupan orang-orang setempat”.[35]
Jadi, amatlah penting untuk mengerti terlebih dahulu
budaya lokal dan elemennya dalam rangka mengupayakan teologi lokal bagi gereja.
Sebagai orang Kristen, kita dapat mengatakan bahwa pekerjaan dan kehadiran
Allah adalah bagi umat Allah dalam konteks mereka masing-masing. Allah mau manusia mengenal-Nya melalui dan di
dalam bentuk budaya mereka sendiri. Pengetahuan tentang suatu budaya lokal
amatlah penting untuk memperlihatkan bahwa kehadiran dan pekerjaan Allah di
dalam suatu budaya, tidak pernah meninggalkan budaya tersebut tidak tersentuh
dan tidak berubah. Berteologi kontekstual artinya melihat bahwa Allah mengubah
umat-Nya, pertama-tama di dalam budaya mereka dan selanjutkan umat yang telah
mengalami perubahan tersebut melakukan perubahan pada budaya itu sendiri.
Nilai Kasundaan: Modal Teologi Lokal
GKP
Seperti kebanyakan budaya di Indonesia, orang Sunda
juga mengenal adanya konsep dualisme di dalam kehidupannya. Contohnya adalah
antara laki-laki dan perempuan, langit dan bumi, siang dan malam, kiri dan
kanan, dan lain sebagainya. Tetapi, orang Sunda tidak berhenti pada pemikiran
yang dualistik seperti itu saja. Tritangtu
adalah satu konsep yang khas dari budaya Sunda dimana Tritangtu menjadi entitas ketiga yang mengharmonikan kondisi
paradoks yang disebabkan dua entitas pertama tadi. Contohnya adalah dalam
ritual tumbuk padi pada masyarkat Sunda kuno. Orang Sunda menggunakan alu sebagai
alat untuk menumbuk dan lumpang sebagai tempat menumbuk padi. Alu menjadi
simbol laki-laki, dan lumpang menjadi simbol perempuan. Inilah yang disebut
sebagai dualisme yang bersifat paradoks. Entitas ketiga adalah orang menumbuk
padi, yaitu biasanya adalah perempuan yang sudah menapouse. Perempuan yang
sudah menapouse adalah perempuan tetapi tidak “perempuan” lagi karena sudah
menapose. Para perempuan yang sudah menapouse inilah yang menjadi entitas
ketiga dalam konsep tritangu.[36]
Konsep tritangtu
adalah bagian dari kosmologi Sunda yang berangkat dari pemahaman Tilu sapamula, dua sakarupa. Hiji eta, eta
keneh. Artinya adalah “Pada mulanya adalah tiga, dua ada dalam bentuk yang
sama dan itu yang disebut Yang Satu.” Kalimat tersebut ditemukan dalam sebuah
komunitas masyarakat Sunda yang ada di Ciptagelar, Sukabumi.[37]
Kata Tritangtu
berasal dari kata bahasa Sangsekerta, tan
dan tangtu, yang kurang lebih berarti
jaring laba-laba (tan) dan ikatan (tangtu). Jadi, tritangtu dapat dipahami seperti sebuah jaring laba-laba yang
mengembang ke arah luar dirinya dan sekaligus dimengerti berarti bersifat
kohesif atau keterpaduan. Tritangtu
adalah sebuah paradoks, di satu sisi dia berarti terpadu / kohesif ke dalam,
tetapi di sisi lainnya mengembang ke arah luar eksistensi dirinya sendiri.
Di dalam praktek hidup sehari-hari masyarakat Sunda,
konsep tritangtu terwujud dalam
koneksi dan relasi tekad-ucap-lampah, nyawa-raga-papakean, buhun-nagara-sarak,
resi-rama-ratu dalm lain sebagainya.[38]
Tritangtu menjadi cara berpikir dasar orang Sunda dan bagaimana orang Sunda
melihat dunia ini, dimana pada akhirnya Tritangtu
mempengaruhi segala aktifias, seni, budaya dan tata kehidupan masyarakat Sunda.
Apa yang orang Sunda pikir, katakan dan perbuat, pada dasarnya berhubungan
dengan konsep Tritangtu ini. Sebuah
filosofi yang menggambarkan sebuah pola hubungan dan kehidupan yang harmonis
dan selaras antara pikiran-perkataan-perbuatan dan antara
keinginan-akal-kekuatan fisik.[39]
Tritangtu adalah sebuah upaya
perasionalisasian pola hidup di dalam budaya masyarakat Sunda. Tritangtu menjadi pemisah dan pemersatu
/ penghubung banyak hal di dalam kehidupan masyarakat Sunda.
Lebih lanjut, pola Tritangtu
dalam masyarakat Sunda antara lain juga muncul dalam (unsur di tengah adalah unsur yang
mengharmonikan dua unsur di kiri dan kanannya) : Batara Keresa-BATARA
MAHAKARANA-Batara Kawasa, kemauan-PIKIRAN-perbuatan,
kemauan-PERKATAAN-perbuatan, sorga-MANUSIA-bumi, air-BATU-tanah,
resi-RATU-rama, atas-TENGAH-bawah, jiwa-TUBUH-pakaian, dataran
rendah-LEMBAH-dataran tinggi, pegunungan-HUTAN-laut, di dalam-DI TENGAH-di
luar, perempuan-BUKAN PEREMPUAN BUKAN LAKI-LAKI (ANAK-ANAK)-pria,
tikam-POTONG-pukul (muncul dalam bentuk senjata tradisional masyarakat Sunda,
yaitu Kujang), putih-MERAH-hitam, dan lain sebagainya.[40]
Jadi, pola Tritangtu menghubungkan
dua entitas dan mempengaruhi kedua entitas pertama. Pola Tritangtu menciptakan keindahan dan harmonisasi yang baik.
Pola Tritangtu menciptakan keindahan dan
harmonisasi kehidupan dalam masyarakat Sunda. Hal ini selanjutnya dapat kita
temukan dalam kearifan lokal (local
wisdom) masyarakat Sunda itu sendiri. Nilai-nilai kearifan lokal ini
bersifat universal dan terdapat dari tradisi lokal masyarakat Sunda, termasuk
dalam mitos-mitos lokal yang berkembang di masyarakat. Hal ini juga menyatu pad
acara hidup orang Sunda, dan cara pikir (worldview).
Cara paling lazim yang dipergunakan oleh masyarakat Sunda untuk dengan
mempergunakan ekspresi tradisionalnya yang mengungkapkan relasi dengan Tuhan,
dengan sesama, dengan situasi serta kondisi hidup yang diharapkan. [41]
Ekspresi pandangan hidup orang Sunda ini menjadi tuntunan dan alat kontrol
dalam kehidupan orang Sunda sehari-hari. Ekspresi yang terkandung dalam
literatur Sunda, tradisi oral dan tulisan, cerita rakyat dan juga penuturan
dari orang Sunda sendiri.[42]
Pandangan
hidup yang dapat dicatat di sini antara lain tentang bagaimana orang Sunda
melihat diri mereka sendiri sebagai manusia yang sopan, sederhana, jujur tetapi
juga tegas, punya kontrol diri yang baik, berbudi baik dan berpikiran terbuka
menerima kehadiran orang lain. Pandangan Silih
Asih, Silih Asuh, Silih Asah adalah rangkuman dari cara pandang orang Sunda
terhadap dirinya sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain yang didasarkan
pada cinta kasih, rasa saling menghormati dan dengan bela rasa. Hasilnya adalah
pola hubungan yang harmonis dan guyup
(intim) serta hidup bagaikan sebuah keluarga besar. Ciri lainnya adalah sikap
orang Sunda yang selalu berusaha menghindari diri dari konflik. Sikap hidup
yang harmoni ini tergambar dalam ekspresi orang Sunda yang berbunyi, kudu silih asih, silih asuh jeung silih asah
dan kawas gula jeung peueut yang
artinya kurang lebih hidup harus saling mengasihi dan menghormati satu sama
lain.
Pola
hidup harmonis juga diperlihatkan dalam hubungan orang Sunda dengan alam
semesta. Bagi orang Sunda, alam itu penting dan membentuk kehidupan orang Sunda
itu sendiri. Oleh karena itu, selain mempergunakan dan memanfaatkan alam, orang
Sunda harus memelihara, merawat dan mengatur bagaimana alam dan sumber dayanya
dipergunakan. Hal ini dilakukan justru karena tahu bahwa alam semesta ini ada
karena Tuhan yang menciptakannya. Dari alam, orang Sunda bukan saja mendapatkan
bahan makanan tetapi juga kebutuhan untuk membangun rumah, pakaian dan
kebutuhan-kebutuhan lain, termasuk kebutuhan upacara adat dan keagamaan.
Kesadaran akan tanggungjawab terhadap alam dan menciptakan keharmonisan dengan
alam, nampak antara lain dalam ungkapan leutik
ringkang gede bugang yang artinya manusia itu punya keterbatasan untuk
mempergunakan dan menata alam semesta ini. Selain itu, sikap harmoni dengan
alam semesta juga nampak dalam kisah rakyat dan mitos tentang Nyi Pocahi, yang
menganggap tanam-tanaman yang berguna dan bermanfaat untuk kehidupan orang
Sunda memiliki sifat ilahi, seperti padi, ketan, dan bambu. Hal ini disebabkan
dalam mitos Nyi Pocahi adalah makhluk adikodrati.
Contoh
lain dari pola hidup harmonis yang dimiliki oleh orang Sunda adalah dari cara
mereka bekerja secara bersama-sama (komunal) dan juga untuk kepentingan
bersama. Nilai harmoni dalam hidup orang Sunda juga nampak dalam kemampuan
orang Sunda untuk dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
ada di sekitarnya.
Penutup: Teologi Lokal Bagi Gereja
Kristen Pasundan
Dalam mengupayakan adanya teologi lokal bagi Gereja
Kristen Pasundan, penulis menyarankan penggunakan unsur budaya lokal di tatar
Pasundan ini tidak sekedar pada tataran menggunakan elemen-elemen budaya yang tangible atau terlihat, seperti bahasa,
lagu, tarian dan upacara-upacara adat yang dipergunakan di dalam liturgi saja,
tetapi lebih pada memberi perhatian ke elemen budaya Sunda yang intangible atau yang tidak kelihatan.
Elemen budaya ini adalah worldview
orang Sunda yang hadir dalam antara lain keseluruhan kearifan lokal orang
Sunda, peribahasa, penuturan dan lain sebagainya. Inilah nilai-nilai Kasundaan
itu.
Pandangan tentang dunia secara menyeluruh dan kearifan
lokal adalah bentuk terdalam dari budaya, yaitu asumsi orang yang terstuktur
secara kultural saat mereka menerima dan berespon terhadap realitas hidup yang
ada. Apa yang jadi bentuk terdalam budaya rupanya tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan manusia.[43]
Kraft menekankan bahwa pandangan dunia dan kearifan lokal itu menyediakan
desain kehidupan dan jalan untuk manusia mengatur kehidupannya, berurusan
dengan setiap aspek kehidupan, menjadi warisan masa lalu dan pelajaran di masa
yang akan datang, umumnya hanya dapat dipahami oleh orang yang berada dalam
konteks budaya tersebut, menyediakan pola-pola strategis yang memampukan
manusia gampang beradaptasi pada situasi fisik dan sosial di sekitarnya, dan
seperti lem yang merekatkan manusia
dengan budayanya, dan juga sebuah persepsi terhadap realitas dan berespon
terhadap realitas tersebut.[44]
Akhirnya berangkat dari hal di atas, dan penjelasan
lain di dalam tulisan ini, Gereja Kristen Pasundan dapat menangkap bagian dari
pandangan tentang dunia oleh orang Sunda (worldview)
dan kearifan lokalnya adalah antara lain nilai-nilai kebersamaan, guyup, suka damai, dan terutama selalu berusaha menciptakan relasi
yang harmonis baik dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya, dan
menjadikannya modal pembentukan teologi lokalnya.
Semuanya adalah bagian dari nilai-nilai Kasundaan yang sesungguhnya adalah
nilai-nilai hidup yang universal. Nilai-nilai Kasundaan ini seharusnya memberi warna khas di dalam kehidupan
bergereja di Gereja Kristen Pasundan dan nampak di dalam keseluruhan aspek
hidup bergerak. Bukan saja pada hal-hal yang terkait persoalan liturgis, ritual
dalam gereja dan acara-acara seremonal yang bersifat tradisional saja. Walaupun
tidak dengan maksud menjadikan Gereja Kristen Pasundan sebagai gereja “suku
Sunda”, nilai-nilai Kasundaan tadi
hendaknya menjadi identitas dan karakter hidup Gereja Kristen Pasundan.
Karakter dan identias Kasundaan terutama menciptakan hubungan yang harmonis, harus nampak
dalam perhatian dan kepedulian Gereja Kristen Pasundan pada realitas keberagamaan
agama di Indonesia, dan terutama di Jawa bagian Barat. Nilai Kasundaan berupa harmoni (termasuk juga
nilai-nilai hidup dalam perdamaian, guyup,
kebersamaan, keintiman hubungan dengan sesama), kiranya terus mendorong Gereja
Kristen Pasundan membangun relasi damai dengan semua kalangan dan mempromosikan
ide-ide pluralisme dan dialog lintas-iman dalam berbagai kesempatan. Selain
terhadap kenyataan keberagamaan di bidang agama, maka dengan menghidupi
nilai-nilai Kasundaan tersebut,
Gereja Kristen Pasundan juga dapat ikut dalam usaha-usaha mempromosikan rasa
penghargaan terhadap keberagamaan adat istiadat, bahasa daerah dan budaya yang
ada di seluruh Indonesia sebagai bagian dari modal persatuan dan kesatuan
bangsa. Hal ini, malahan, dapat dimulai dari kehidupan bergereja di Gereja
Kristen Pasundan sendiri yang dalam kenyataannya, memiliki keberagamaan suku
bangsa. Keberagamaan yang seharusnya menjadi kekayaan persekutuan di Gereja
Kristen Pasundan.
Hal terakhir yang seharusnya menjadi bagian dari
teologi lokal Gereja Kristen Pasundan adalah perhatian yang terus terasah dan
respon yang tidak pernah berhenti terhadap kenyataan kemiskinan yang masih
banyak terjadi di sekitar kehidupan bergereja Gereja Kristen Pasundan. Di dalam
teologi lokalnya ini, Gereja Kristen Pasundan dapat mengembangkan refleksi
teologisnya atas persoalan kemiskinan dan perjuangan sosial melawan
ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. Teologi lokal bagi Gereja
Kristen Pasundan adalah adanya respon dan tanggungjawab sosial Gereja Kristen
Pasundan yang diterjemahkan ke dalam tindakan nyatakan bersama Gereja Kristen
Pasundan dengan masyarakat dimana Gereja Kristen Pasundan berada. Usaha untuk
menemukan formulasi yang tepat dalam bertindak mengatasi persoalan kemiskinan
dan ketidakadilan sosial di dalam masyarakatnya, adalah teologi lokal bagi
Gereja Kristen Pasundan. Inilah teologi
sosial Gereja Kristen Pasundan yang hendak mewujudkan tanggungjawab imannya di
dalam masyrakatnya.
Jadi, akhirnya, teologi lokal bagi Gereja Kristen
Pasundan bukan sekedar bicara tentang identitas Gereja Kristen Pasundan di
dalam konteksnya atau dalam usaha-usaha mempergunakan elemen budaya Sunda di
dalam liturgis saja, tetapi juga tentang bagaimana Gereja Kristen Pasundan
bertindak secara nyata di tengah realitas kehidupan dimana ia berada. Teologi
lokal Gereja Kristen Pasundan adalah praksis Gereja Kristen Pasundan dalam
berhadapan dengan realitas sosial yang ada di sekitarnya dengan mempergunakan
kearifan lokal budaya Sunda yang bersifat universal.
Daftar Pustaka
Bevans, Stephen
B. Model of Contextual Theology: Revised
and Expanded Edition. New York: Orbis Books. 2003.
Greetz, Clifford. Interpretation
of Culture: Selected Essays. New York: Basic Books, 1973.
Hesselgrave, David J. dan Edward Rommen. Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model.
Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012.
Karft, Charles H. “Culture, Worldview and
Contextualization” dalam Perspective on
the World Christian Movement,
eds. Ralph D. Winter, Steven C.
Hawthorne et.al. California: Willam Carey Library, 1999.
Koentjaraningrat. Kebudayaan,
Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1995.
______________ Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Aksara Bara, 1985.
Martasudjita, E. Pengantar
Liturgi: Makna Sejarah dan Teologi Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Samosir,Leonardus. Agama
dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks. Jakarta:
Obor, 2010.
Shorter, Alyward. Toward
A Theology of Inculturation. New York: Orbis Books, 1998.
Tanner, Kathryn. Theories
of Culture: A New Agenda for Theology. Minneapolis: Fortress Press, 1997.
Singgih, Emanuel Gerrit. Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan antara Kontekstualisasi Teologi
dengan
Interpretasi
Alkitabiah. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2012.
Sumardjo, Jacob. Sunda:
Pola Rasionalitas Budaya, Bandung: Kelir, 2011.
Phan,Peter C. In
Our Own Tongues: Perspective from Asia on Mission and Inculturation. New
York: Orbis Books,
2003.
Rachmat, Otong K., Materi
Dasar Ilmu Budaya Sunda. Bandung: Universitas Pasundan, 2000.
Warnaen, Suwarsih, et.al. Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan
Sastra Sunda.
Bandung: Dirjen Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1987.
[1]
Pendeta Tugas Khusus Studi Master di
Graduate School of Theologi, Hanshin University, Seoul – South Korea. Lulus
Juni 2014 dan sekarang melayani di BPP
Sinode Gereja Kristen Pasundan.
[2]
Stephen B. Bevans, Model of Contextual
Theology: Revised and Expanded Edition (New York: Orbis Books. 2003), 19.
[3]
Penulis tidak menutup mata pada
kondisi keberagaman latar belakang budaya yang kini ada di tengah-tengah
kehidupan persekutuan di Gereja Kristen Pasundan. Hanya saja untuk maksud
penulisan ini, penulis memberikan perhatian khusus pada budaya Sunda sebagai
budaya yang ada di Jawa Barat. Untuk langkah selanjutnya, tentu saja Gereja
Kristen Pasundan harus memberikan perhatian pada kekayaan unsur budaya yang ada
di tengah-tengah kehidupan berjemaat, bukan saja berhenti pada budaya Sunda
atau budaya Betawi atau budaya Cirebonan, tetapi pada unsur budaya lain yang
ada. Semuanya pada akhirnya dapat memperkaya teologi lokal Gereja Kristen
Pasundan sendiri.
[6]
Charles H. Karft, “Culture, Worldview and Contextualization” in Perspective on the World Christian Movement,
eds. Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne et.al
(California: Willam Carey Library, 1999), 386.
[8]
Kathryn Tanner, Theories of Culture: A
New Agenda for Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1997), 25-29.
[9]
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas
dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1995), 5-8. Lihat juga Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi (Jakarta: Aksara Bara, 1985), 180-182. Di bukunya ini,
Koentjaraningrat menuliskan bahwa menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
[15]
Emanuel Gerrit Singgih, Dari Israel ke
Asia: Masalah Hubungan antara Kontekstualisasi Teologi dengan Interpretasi Alkitabiah
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 1.
[17]
David J. Hesselgrave and Edward Rommen, Kontekstualisasi:
Makna, Metode dan Model (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 76-79.
[21]
Peter C. Phan, In Our Own Tongues:
Perspective from Asia on Mission and Inculturation (New York: Orbis Books,
2003)
[22]
Leonardus Samosir, Agama dengan Dua
Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks (Jakarta: Obor, 2010),
82-83.
[26]
Schreiter, Constructing Local Theologies,
6-16.
[27]
Ibid., 11.
[28]
Ibid., 12.
[29]
Schreiter, Constructing Local Theologies,
14-15.
[30]
Bevans, Model of Contextual Theology,
31.
[31]
Ibid., 31-32.
[32]
Bevans, Model of Contextual Theology
,55.
[33]
Ibid., 57.
[34]
Ibid.. 59.
[35]
E. Martasudjita Pr., Pengantar Liturgi:
Makna Sejarah dan Teologi Liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 79.
[41]
Otong Rachmat K., Materi Dasar Ilmu Budaya
Sunda (Bandung: Universitas Pasundan, 2000), 15.
[42]
Suwarsih Warnaen et.al, Pandangan Hidup
Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda
(Bandung: Dirjen Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987), 4.
[43]
Kraft, “Culture, Worldview and Contextualization”, 384-391.
[44]
Ibid., 387.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar