Selasa, 21 April 2020

Budaya Sebagai Modal Rancang Bandung Teologi Lokal Bagi GKP: Belajar dari Nilai Kasundaan Yang Universal


Kudu bisa pindah cai pindah tampian
(Tulisan ini telah dipublikasikan dalam Buku HUT ke-80 GKP)

Abstraksi
Kebudayaan adalah modal untuk mekonstruksi teologi lokal bagi gereja. Nilai-nilai di dalamnya adalah kekayaan luar biasa yang dapat dipergunakan untuk dapat mengkomunikasikan berita kabar baik tentang Kristus. Dalam upaya untuk merancang bangun teologi lokalnya, Gereja Kristen Pasundan haruslah memperhatikan kekayaan budaya-budaya yang ada, dalam hal ini salah satunya adalah budaya Sunda, sambil tetap tidak melupakan untuk tetap kritis tidak terjebak pada romantisme budaya seraya tetap memberikan perhatian pada teologi dan tradisi gereja yang selama ini ada. Selain itu, Gereja Kristen Pasundan harus tetap memberikan perhatian pada refleksi teologis atas teks dan konteks Alkitab, serta konteks kehidupan masyarakat dimana ia berada. Refleksi teologis yang pada akhirnya berbentuk respon gereja terhadap persoalan-persoalan sosial yang ada di dalam masyarakat, dinamika kehidupan di dalamnya dan upaya menghasilkan usaha transformasi sosial di dalamnya.

Pendahuluan
Penulis sadar tidak lahir sebagai orang Sunda, dan memiliki pengalaman yang cukup tentang budaya Sunda. Ketertarikan terhadap sebuah budaya Sunda dan unsur-unsurnya semata-mata lahir dari kenyataan berada di tengah-tengah budaya itu sendiri. Untuk hal ini, penulis teringat pendapat Stephen Bevans, bahwa seseorang yang tidak benar-benar berasal dan berbagi pengalaman utuh terhadap suatu budaya (karena tidak berasal dari lingkungan budaya tersebut) dapat berkonstribusi dalam konstrusksi teologi kontekstual di tengah budaya ia berada saat ini.[2] Oleh karena itu, sebagai orang yang meski bukan berasal dari tengah budaya Sunda, tetapi hidup di tengah masyarakat Sunda, penulis memberanikan diri untuk mencoba melihat dan menemukan adanya kekayaan unsur budaya Sunda yang dapat dipergunakan sebagai sumber berharga dalam pelayanan Gereja Kristen Pasundan.[3] Syaratnya, menurut Bevans, adalah adanya keinginan yang dalam untuk berpartisipasi dalam budaya tersebut dengan cara belajar dan mengapresiasi berbagai tulisan sosiologis dan antropologis dari budaya yang dimaksud.[4]

Kebudayaan: Ragam Pengertian
                Edward Bennet Tylor dalam bukunya Primitive Culture: Research into the Development of Mythology Religion, Arts and Custom (Boston: Estes & Lauriat, 1874) mencatat ada sekitar 170 definisi budaya. Budaya adalah keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan dan kapabilitas dan kebiaasaan lain yang dibutuhkan oleh manusia untuk menjadi bagian dari suatu masyarakat, atau dengan kata lain adalah keseluruhan hidup manusia itu sendiri.
                Manusia selalu berinteraksi dengan manusia lain. Dalam interaksinya, terjadi pertukaran (saling berbagi) konsep nilai, kebiasaan, pola pikir, ide-ide dan cara hidup dengan orang lain. Di dalam berkebudayaan, manusia saling berbagi kesamaan dan komunalitas hidup dan pada saat bersamaan, dengan berkebudayaan manusia dapat membedakan satu komunitas hidup dengan komunitas lainnya. Ada proses belajar dari manusia lainnnya dalam bentuk simbol, nilai, dan aktivitas kehidupan lainnya. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan manusia itu mempengaruhi dan dipengerahui oleh budaya. [5]
Ada dua level kebudayaan, yaitu level permukaan dan level dalam. Level permukaan adalah pola-pola budaya yang ditemukan dalam apa yang manusia lakukan, pikirkan dan rasakan. Sedangkan level dalam adalah pola budaya dalam bentuk memilih, merasakan, beralasan, menginterpretasikan, menilai, menjelaskan, menghubungkan satu hal dengan hal lain, berkomitmen terhadap manusia lain, beradaptasi dan dalam memutuskan untuk mengadakan perubahan di sekitar kehidupannya .[6] Dua level budaya ini adalah tentang bentuk budaya yang kelihatan (tangible) dan yang tidak tidak kelihatan (intangible dalam bentuk worldview atau cara pandang). Kebudayaan adalah pola-pola dalam kehidupan yang ditransmisikan sepanjang sejarah dan hadir dalam simbol-simbol, konsep-konsep yang diwariskan dan diekspresikan secara simbolik serta dikomunikasikan manusia, diabadikan manusia dan dikembangkan dalam sistem pengetahuan dan prilaku melalui kehidupan manusia sehari-hari. [7]
Sebagai keuniversalitasan manusia (human universal), budaya menunjukkan kesamaan manusia dalam komunitasnya, sekaligus membedakan manusia tersebut dari komunitas lainnya. Kebudayaan adalah pembeda manusia dalam masing-masing komunitasnya (highlight of human diversity). Oleh karena itu, kebudayaan menjadi semacam sebuah konsensus sosial dalam suatu masyarakat yang mengkonstruksi sifat dasar manusia. Kebudayaan di satu sisi membentuk manusia, tetapi di sisi lain dibentuk oleh manusia. Kebudayaan menjadi pembeda sosiologis dari manusia dan karenanya tidak ada satu bentuk kebudayaan pun yang dapat mengklaim dirinya lebih baik dari bentuk kebudayaan lain. [8]
Antropolog Indonesia, Koentjaraningkrat menuliskan ada tiga bentuk kebudayaan. Pertama adalah keseluruhan ide, gagasan, perasaan, nilai, norma dan aturan. Bentuk kedua adalah segala aktifitas manusia di dalam lingkungannya, dan bentuk ketiga adalah keseluruhan kerja manusia. [9] Ketiga bentuk kebudayaan tersebut memiliki dua lapisan, yaitu lapisan ideal seperti sistem nilai, sistem norma, dan lapisan sistem sosial seperti prilaku, perbuatan dan produk manusia yang terpolakan. Lapisan yang pertama lebih abstrak ketimbang yang kedua. [10] Sebuah kebudayaan lokal adalah contoh dari sebuah sistem nilai dan aturan yang mengatur hidup sehari-hari manusia, seperti tata krama dan nilai kepantasan dalam hubungan. Lapisan kedua, memiliki wujud yang lebih riil yaitu hasil karya manusia seperti bangunan, tarian, lagu dan lain sebagianya. Lapisan yang pertama jelas amat mempengaruhi bahkan menjadi dasar terbentuknya lapisan yang kedua (bentuk fisik). Kebudayaan itu sendiri memiliki tujuh elemen yang bersifat universal, yaitu seni, teknologi, sistem organisasi sosial, bahasa, sistem ekonomi, sistem kehidupan, sistem pengetahuan dan agama. [11]

Kontekstualisasi: Upaya Berteologi Secara Lokal
                Dalam upaya untuk berteologi secara lokal, maka usaha-usaha kontekstuliasi adalah pilihan yang harus diambil. Ada sejumlah istilah dan penjelasan istilah kontekstualisasi. Mulai dari akulturasi sebagai bentuk pertemuan dua budaya yang saling berinteraksi. Budaya yang bertemu dapat mengalami perubahan seiring dengan interaksi yang saling mempengaruhi tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan sikap saling menghargai dan bertolenrasi dari masing-masing budaya. [12] Ada juga istilah interkulturasi yang mengacu pada tindakan dan aksi memasukkan pesan kekristenan ke dalam satu bentuk budaya tertentu. Aksi ini biasa terjadi di dalam proses penginjilan. Ada usaha mengakomodasi dan mengadopsi pesan-pesan kekristenan ke dalam bentuk ekspresi budaya yang dapat dimengerti dan dipahami oleh manusia yang berada di dalam budaya bersangkutan. [13] Istilah ketiga adalah inkulturasi, yaitu proses kreatif dan dialog dinamis antara pesan kekristenan dengan budaya (atau budaya-budaya). Kemungkinan yang terjadi adalah terjadinya transformasi budaya ke bentuk yang lain. Aylward Shorter menjelaskan bahwa inkulturasi adalah kata yang paling tepat untuk menjelaskan kata “kontekstualisasi”.[14] Inkulturasi bukan saja memasukkan pesan-pesan kekristenan ke dalam suatu bentuk kebudayaan bukan Kristen, tetapi juga melibatkan seluruh aspek hidup manusia yang ada di dalamnya, seperti seni budaya tradisional, spiritualitasnya dan lain sebagainya. Dalam inkulturasi terjadi dialog instens antara pesan-pesan kekristenan dengan dunia yang memang sudah kaya akan keragaman dan keunikan budayanya masing-masing.
Selain ketiga istilah di atas,  kontekstualisasi juga melibatkan adanya usaha indigenisasi sebagai sebuah respon dari pesan-pesan kekristenan di dalam kerangka sebuah kebudayaan dan juga memberi perhatian pada situasi dan kondisi yang terjadi di dalam suatu konteks kehidupan tertentu seperti perhatian pada fenomena sekularisasi, perkembangan iptek, pergumulan hak asasi manusia, perjuangan keadilan dan isu-isu sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Kontekstualisasi seperti ini, menurut Shoki Coe, seharusnya bukan sekedar “Contextual Theology” tetapi “Contextualizing Theology” atau dengan kata lain “teologi yang mengkontekstulisasikan”. Di titik ini, gereja harus memahami bahwa dirinya tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai garam dan terang bila mengalami keterpisahan dengan dunia dan realitas yang ada di dalamnya. [15]
Jadi dalam disimpulkan, kontekstulisasi adalah praksis dari pikiran, perkataan dan perbuatan orang percaya (baca: gereja) yang berlandaskan imannya dan berlangsung di tengah-tengah situasi kehidupan kekinian. Praksis gereja di tengah masyarakatnya dan realitas yang ada di dalamnya. [16] Praksis yang adalah implikasi iman, bukan sekedar aplikasi iman, yang berangkat dari kedalaman pemahaman Alkitabiah yang menuju pelaksanaan tugas panggilan di dalam dunia. [17] Kontekstualisasi menjadi sebuah usaha interpretasi Alkitab secara benar dan pada saat bersamaan, mengkomunikasikan pesan-pesan kekristenan secara efektif di dalam sebuah konteks budaya, sekaligus menjadi upaya menghargai isi pesan kekristenan melalui dan di dalam budaya tersebut. [18]
Di dalam kehidupan di Asia, kontekstualisasi adalah reaksi terhadap dominasi budaya barat atas budaya Asia yang kaya, dan sebagai sebuah perjumpaan bahkan proses pembaruhan isi teologi Kristiani di dalam suatu budaya lokal. Gereja berusaha memformulasikan imannya secara khas sesuai dengan konteks keberadaannya, termasuk di dalam dan melalui budaya yang ada di sekitarnya. [19] Kontekstualisasi menjadi semacam upaya “mengupas kulit bawang” teologi barat dan menemukan penafsiran sesungguhnya dari isi Alkitab, serta menerjemahkannya dalam pemahaman konteks lokal di masing-masing budaya (dhi. budaya Asia). Hanya saja, kontekstualisasi harus lebih dari sekedar usaha indigenisasi, yaitu memberikan sentuhan dan rasa Asia pada teologi lokal, pada musik, pada liturgi tetapi juga pada usaha memahami pesan-pesan Alkitabiah dalam konteks budaya sendiri. Kontekstualisasi adalah usaha memahami pesan-pesan kekristenan di dalam budaya masing-masing. Oleh sebab itu, seharusnya teologi yang selalu kontekstual itu perlu bersentuhan dengan pengalaman hidup manusia, dengan lokasi sosial, bentuk budaya yang khas dan setiap perubahan sosial yang terjadi di dalamnya. [20]
Memulai Teologi Lokal bagi Gereja Kristen Pasundan
Berteologi lokal dapat dimulai dari budaya lokal sebagai modalnya. Untuk itu kita dapat merujuk pada pandangan seorang teologi Asia, Peter C. Phan. Bagi Phan, kekayaan budaya di Asia (termasuk tentunya di Indonesia) yang terdiri dari begitu banyak unsur budaya, seperti cerita rakyat, tarian, puisi dan sajak, seni visual, simbol-simbol budaya dan bahkan mitos lokal, adalah sebagian dari modal untuk dapat memulai rancang bangun sebuah teologi lokal. Modal lainnya adalah cerita tentang penderitaan, harapan, kekecewaan, penindasan, kebencian, kebahagiaan dan pergumulan yang dialami masyarakat di Asia dalam mencapai dan meraih kebebasan dan kemerdekaan, cerita tentang penindasan terhadap kaum perempuan dan kaum minoritas.[21]
Oleh sebab itu, Gereja Kristen Pasundan menyadari diri perlunya untuk mempelajari budaya lokal yang ada di sekitarnya, dan dalam hal ini adalah salah satunya budaya Sunda. Inilah modal awal untuk memulai rancang bangun teologi lokal, yaitu dengan belajar dari antara lain kearifan lokal yang ada di dalam kebudayaan Sunda, dan juga konteks kehidupan yang ada di sekitarnya, yaitu adanya pluralitas atau kemajemukan agama, budaya-budaya lain dan kenyataan kemiskinan serta ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat. [22]
Lalu bagaimana GKP dapat memulainya? Gereja Kristen Pasundan dapat memulainya dengan memperhatikan penjelasan Schreiter di dalam tulisannya di bukunya Constructing Local Theologies. Pertama-tama Gereja Kristen Pasundan tetap perlu melihat pengaruh teologi apa yang ada di dalam sejarahnya. Untuk itu Gereja Kristen Pasundan tetap perlu melihat pengaruh teologi dan tradisi Calvinis di dalam kehidupan bergerejanya. Pengaruh pietisme zaman zendeling yang masih terasa dan membentuk teologi Gereja Kristen Pasundan saat inipun tidak boleh luput untuk dipelajari, dan juga pengaruh teologi-teologi lain yang ada di sekitar kehidupan Gereja Kristen Pasundan dan memberi pengaruh langsung atau tidak langsung pada pemahaman eklesiologi Gereja Kristen Pasundan. Semuanya ini harus dilihat dan dipelajari secara kritis karena teologi dan tradisi yang selama ini ada dapat menjadi, baik sebagai penunjang atau justru penghambat dalam upaya Gereja Kristen Pasundan merekonstrusi teologi lokalnya. [23]
Langkah kedua, Gereja Kristen Pasundan perlu “membuka” unsur budaya yang ada di sekitarnya, yaitu yang ada di tatar Pasundan. Gereja Kristen Pasundan harus mendengar dan menemukan nilai-nilai, kebutuhan-kebutuhan, daya tarik, dan simbol-simbol yang ada di dalam budaya tersebut. Gereja Kristen Pasundan harus berusaha menangkap secara sekaligus keutuhan dan kekompleksitasan dari unsur budaya yang ada. Usaha ini harus diikuti dengan kesadaran kritis untuk tidak terjebak pada romantisme budaya, karena dapat menghilangkan kemampuan untuk mengadakan transformasi sosial di dalam masyarakat dengan budaya tersebut. Dengan mempelajari (membuka) unsur budaya, Gereja Kristen Pasundan sedang berusaha mencari celah kesempatan untuk mengadakan transformasi sosial dalam konteksnya.[24] Pesan-pesan dan tema-tema Kristiani, seperti keselamatan, pertobatan, perubahan dan ekskatologi, haruslah diperhadapkan dengan budaya dalam usaha mengadakan transformasi sosial. Jadi, upaya konstruksi teologi lokal bagi Gereja Kristen Pasundan hendaknya adalah usaha dan proses untuk menemukan Kristus yang sudah ada di dalam budaya dan usaha untuk membawa Kristus ke dalam budaya, serta upaya untuk memiliki pemahaman yang utuh tentang Kristus melalui dan di dalam budaya untuk menciptakan sebuah perubahan sosial.
Langkah selanjutnya adalah menganalisa unsur dan tema budaya yang memilki kemungkinan untuk dipergunakan dalam mekonstruksi teologi lokal. Ada dua prinsip, yaitu mencari dan menemukan kebutuhan dan urgensi dalam budaya, dan pola-pola dalam budaya yang menentukan sesuatu dilakukan di dalam budaya bersangkutan. Misalnya, tema “pengorbanan” dan “pengosongan diri” dari Kristus yang tersimbolkan dalam perjamuan kudus, dapat menjadi simbol dari perjuangan sosial. Gereja Kristen Pasundan dapat berusaha mencari tema-tema sejenis yang dapat memberikan dampak pada pola budaya yang ada, dan juga bagaimana pesan-pesan tersebut dikomunikasikan melalui budaya yang ada. Gereja Kristen Pasundan dapat mencari, mempelajari dan menggunakan misalnya puisi, musik, lagu dan pepatah dalam budaya untuk mengkomunikasikan tema-tema Kristiani tersebut.[25]
Jadi, bicara tentang mekonstruksi teologi lokalnya, Gereja Kristen Pasundan perlu terus memberi perhatian pada antara lain tradisi gereja yang ada, pengaruh-pengaruh teologi dalam kehidupannya (teologi dan tradisi Calvinis), pengaruh gerakan pietisme di dalam sejarahnya dan budaya yang ada sekitarnya. Gereja Kristen Pasundan harus berusaha terus untuk melihat koneksi atau hubungan antara tema-tema lokal dan kebutuhan, baik di dalam kontennya, konteksnya dan bentuknya. Ada usaha untuk memperhadapkan dan membuat perjumpaan antara tradisi gerejanya dan tema-tema lokal yang ada di sekitarnya, dan mencari mencari kesamaan pengalaman dengan sekitarnya dalam memformulasikan teologi lokalnya (dalam hal ini dapat berupa isu-isu sosial yang berkembang, seperti pembebasan, kemiskinan, worldview berupa kearifan lokal terhadap relasi antar manusia, manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dsb). Dengan demikian, Gereja Kristen Pasundan dapat memiliki kesempatan dan kemungkinan yang lebih baik untuk dapat memperluas pemahamannya terhadap realitas kehidupan dan realitas tentang Kristus itu sendiri.
Teologi lokal adalah teologi yang memiliki penekanan pada usaha perjumpaan tradisi gereja dan tema-tema Kristiani dengan kenyataan hidup masyarakat di sekitarnya. Dalam teologi lokal, harusnya ada usaha untuk mencari kesejajaran tema Kristiani dengan isu sosial yang terjadi seperti kemiskinan dan ketidakadilan sosial serta perjuangan untuk kebebasan dan hak asasi manusia. Dengan teologi lokalnya, Gereja Kristen Pasundan dapat bereaksi terhadap isu-isu sosial dan berkonstribusi terhadap upaya-upaya mencari jalan keluar dari masalah-masalah sosial dalam konteks kehidupannya. Oleh karena itu, perlu terus diingat, teologi lokal Gereja Kristen Pasundan haruslah berdampak positif pada situasi sosial dan kultural dimana Gereja Kristen Pasundan berada, yaitu khususnya di Jawa bagian barat. Inilah teologi lokal bagi Gereja Kristen Pasundan, yaitu sebuah kebutuhan teologis gereja untuk dapat berespon terhadap masyarakatnya dan isu sosial yang terjadi di dalamnya. Teologi lokal adalah upaya profetik Gereja Kristen Pasundan untuk memperhadapkan pemahamannya terhadap teks dan konteks biblika dengan konteks kehidupannya sehari-hari. Upaya yang dapat mencetus perubahan sosial melalui refleksi teologis, pelayanan dan kesaksian Gereja Kristen Pasundan.  Aktor dari teologi lokal ini adalah seluruh warga jemaat Gereja Kristen Pasundan dan nampak dalam keseluruhan usahanya untuk melaksanakan panggilannya bersekutu, melayani dan bersaksi sebagai gereja bagi sesama.

Teologi Lokal: Pilihan yang Diambil
Menemukan dan membangun teologi lokal adalah tugas bersama dari seluruh bagian Gereja Kristen Pasundan. Untuk itu, Gereja Kristen Pasundan dapat mulai dengan mendalami terlebih dahulu apa yang sebenarnya dimaksud dengan teologi lokal itu.
Schreiter berpandangan ada tiga model dari teologi lokal (doing local theologies), yaitu model penerjemahan, model adaptasi dan model kontekstual.[26] Model pertama mulai dari tradisi yang ada dalam gereja dan memasukkannya kepada setting-an kultural lokal. Hal ini nampak misalnya dalam mengadopsi nilai-nilai lokal ke dalam ritual Kristen, ajaran, lagu, liturgi dan juga penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa lokal. Model pertama ini menolong gereja menemukan kesamaan konsep Kristiani di dalam bahasa lokal setempat. Model kedua, model adaptasi memiliki perhatian utama untuk mencari cara bagaimana menggunakan elemen budaya lokal dalam kehidupan bergereja. Model ini mencoba memperjumpakan kekristenan dengan budaya lokal. Ada usaha untuk mencari kesejajaran antara nilai-nilai budaya lokal dengan teologi barat. Model kedua ini adalah usaha menanam benih kekristenan ke dalam konteks lokal, dan membiarkan benih tersebut mengalami interaksi dengan “tanah” tempat ditabur, yaitu konteks lokal. Model kedua ini dapat menghasilkan bentuk baru kekristenan (new flowering Christianity).[27] Model ketiga berkonsentrasi pada budaya lokal ketimbang pada nilai-nilai kekristenan itu sendiri. Pada dua model pertama, konsentrasinya adalah bagaimana membuat nilai-nilai kekristenan dapat diterima di dalam budaya lokal, sedangkan pada model ketiga ini perhatiannya adalah pada konteks budaya lokal dimana kekristenan itu bertumbuh.[28] Perhatian utama model ketiga adalah konteks sosial, dengan dua pendetakan, yaitu pendekatan etnografis dan pendekatan teologi pembebasan. Pendekatan etnografis memberi perhatian pada identitas budaya lokal, sementara pendekatan teologi pembebasan adalah pada dinamika perubahan sosial yang terjadi dalam konteks dimaksud. Pendekatan etnografis mencoba mencari harmoni dan perdamaian hidup melalui studi terhadap identitas budaya lokal, dan mencoba mendapatkan stabilitas kehidupan sosial di dalam konteks budaya lokal. Tetapi sayangnya, ada satu hal yang terlupakan, yaitu kemungkinan untuk melakukan transformasi sosial pada konteks. Jebakannya adalah romantisme budaya lokal.  Pendekatan teologi pembebasan lebih menolong gereja untuk menemukan dan mempergunakan pandangan Alkitabiah dalam menghadapi persoalan-persoalan sosial yang terjadi dalam konteks. Meskipun masing-masing model ini punya kekurangan dan kelebihan, Schreiter menegaskan ketiganya saling mengisi satu sama lain dan dapat dipergunakan secara bergantian sesuai dengan kebutuhan.[29]
Selain apa yang ditawarkan Schreiter, Bevans juga menawarkan model-model teologi lokal, yaitu countercultural, translation model, the synthetic model, the praxis model, the transcendental model dan anthropological model.[30] Terhadap keenam model ini, Bevans berpandangan:

The most radical of the six models, the anthropological model, will emphasize cultural identity and its relevance for theology more than scripture or tradition, which it considers important but a product of contextually relative theologies that have been hammered out in vary particular contexts … the view of the transcendental model focuses not on a content to be articulated but on the subject who is articulating. The hope here is that if one is personally authentic in one’s faith and in one’s being-in-the-world, one will be able to express one’s faith in an authentically contextual manner.[31]

Dari enam model yang ditawarkan oleh Bevans, model pertama yaitu countercultural model adalah model yang paling konservatif dengan bersandar penuh pada tradisi Alkitab, sementara anthropological model adalah model yang paling progresif, dengan memberikan perhatian pada konteks kehidupan di mana gereja berada yaitu yang terdiri dari pengalaman hidup manusia, kebudayaan yang mempengaruhi dan dipengaruhi manusia, kondisi dan situasi sosial, pada dinamika perubahan sosial.
Dari model-model teologi kontekstual yang ada, baik yang Schreiter maupun Bevans utarakan, maka ada baiknya Gereja Kristen Pasundan memberikan perhatian lebih pada model terakhir yang Bevans sodorkan, yaitu model antropologis. Model ini memberikan perhatian pada pengalaman manusia dalam konteks budaya dan dinamika perubahan sosial, sama seperti bagaimana Allah bekerja di dalam pengalaman hidup manusia, dalam budaya dan dalam setiap perubahan sosial yang terjadi. Dengan menggunakan model antropologis, teologi memiliki koneksi erat dengan situasi kekinian dan konteks hidup. Model ini mencoba memahami relasi manusia yang membentuk suatu budaya dimana Allah bekerja dan hadir. Model ini memberikan perhatian khusus pada identitas manusia di dalam budayanya dan mencoba menemukan simbol-simbol dan konsep-konsep di dalam budayanya untuk mengartikulasi iman kristianinya. Model ini tidak menolak pentingnya pemahaman Alkitabiah, atau pentingnya studi terhadap pengalaman hidup manusia di dalam budaya, perubahan sosial dan perubahan budaya, tetapi juga pada identitas kulturalnya.[32] Dalam model antropologis ini, penyataan Allah bukanlah pesan terpisah dari budaya manusia, tetapi justru ada dan hadir di dalam budaya. Lewat menggunakan model ini, pesan-pesan Alkitab dibaca sebagai produk yang memiliki latar sosial dan kultural dari pengalaman hidup orang Israel dan komunitas Kristen mula-mula sesuai dengan konteks pada saat itu, dan bukan sebagai semata-mata produk teologi barat. Penyataan dan manifestasi Allah pada akhirnya dilihat sebagai sesuatu yang “tersembunyi” di dalam nilai-nilai dan perubahan-perubahan sosial di dalam suatu konteks tertentu. Model ini akan membuat kekristenan “menantang” suatu budaya dan mengubahnya secara radikal. Ada usaha untuk menemukan kesamaan antara nilai dalam suatu konteks budaya dengan nilai kekristenan itu sendiri,[33] usaha untuk menemukan sebanyak mungkin nilai-nilai positif dalam seluruh karya cipta Allah, termasuk di dalamnya budaya dan elemen-elemennya. Titik awal model ini adalah pengalaman hidup manusia yang terjadi saat ini, bukan di masa lalu dan keunikkan yang ada dalam setiap budaya. Penekannya adalah mencari keunikan dalam setiap budaya, ketimbang mencari apa yang sama di antara budaya-budaya. Bevans, dengan mengutip pandangan dari Konferensi Bishop di Asia Timur, mengatakan bahwa model antropologis mempergunakan elemen-elemen dalam budaya Asia seperti tradisi asketis dan ajaran serta praktek etika Asia untuk mempromosikan teologi lokal di Asia.[34] Model ini menolong kekristenan melihat praktek iman kekristenan di tengah dan di dalam budaya dan konteks, meski perlu disikapi dengan hati-hati adanya bahaya romantisme kultural yang dapat menyebabkan ketumpulan daya pikir kritis terhadap budaya itu sendiri.
Dari sini, kita dapat belajar bahwa Gereja Kristen Pasundan dapat melihat dan belajar tentang sumber-sumber yang dapat dipergunakan untuk membangun teologi lokalnya dan model upaya kontekstualisasinya. Sumber utamanya adalah kearifan lokal budaya Sunda sebagai bentuk terdalam dari budaya Sunda, dan dengan mempergunakan model antropologis sebagai model usaha kontekstualisasi gereja yang memberi ruang besar untuk memperhatikan identitas budaya dimana Gereja Kristen Pasundan berada.
Jadi, kontekstualisasi (model antropologis) sebagai bentuk teologi lokal Gereja Kristen Pasundan haruslah dimengerti lebih dari sekedar ekspresi iman dalam gereja dengan mempergunakan elemen budaya, tetapi sebagai keseluruhan ekspresi iman yang hadir dalam keseluruhan aspek hidup manusia yang mengalami transformasi oleh Injil Kristus. Martasudjita mengatakan hal ini sebagai “suatu proses yang terus menerus dalam nama Injil, diungkapkan ke dalam suatu dimensi sosio-politis dan religious-kultural dan sekaligus Injil itu menjadi daya dan kekuatan yang mengubah dan mentransformasikan situasi tersebut dan kehidupan orang-orang setempat”.[35]
Jadi, amatlah penting untuk mengerti terlebih dahulu budaya lokal dan elemennya dalam rangka mengupayakan teologi lokal bagi gereja. Sebagai orang Kristen, kita dapat mengatakan bahwa pekerjaan dan kehadiran Allah adalah bagi umat Allah dalam konteks mereka masing-masing.  Allah mau manusia mengenal-Nya melalui dan di dalam bentuk budaya mereka sendiri. Pengetahuan tentang suatu budaya lokal amatlah penting untuk memperlihatkan bahwa kehadiran dan pekerjaan Allah di dalam suatu budaya, tidak pernah meninggalkan budaya tersebut tidak tersentuh dan tidak berubah. Berteologi kontekstual artinya melihat bahwa Allah mengubah umat-Nya, pertama-tama di dalam budaya mereka dan selanjutkan umat yang telah mengalami perubahan tersebut melakukan perubahan pada budaya itu sendiri.

Nilai Kasundaan: Modal Teologi Lokal GKP
Seperti kebanyakan budaya di Indonesia, orang Sunda juga mengenal adanya konsep dualisme di dalam kehidupannya. Contohnya adalah antara laki-laki dan perempuan, langit dan bumi, siang dan malam, kiri dan kanan, dan lain sebagainya. Tetapi, orang Sunda tidak berhenti pada pemikiran yang dualistik seperti itu saja. Tritangtu adalah satu konsep yang khas dari budaya Sunda dimana Tritangtu menjadi entitas ketiga yang mengharmonikan kondisi paradoks yang disebabkan dua entitas pertama tadi. Contohnya adalah dalam ritual tumbuk padi pada masyarkat Sunda kuno. Orang Sunda menggunakan alu sebagai alat untuk menumbuk dan lumpang sebagai tempat menumbuk padi. Alu menjadi simbol laki-laki, dan lumpang menjadi simbol perempuan. Inilah yang disebut sebagai dualisme yang bersifat paradoks. Entitas ketiga adalah orang menumbuk padi, yaitu biasanya adalah perempuan yang sudah menapouse. Perempuan yang sudah menapouse adalah perempuan tetapi tidak “perempuan” lagi karena sudah menapose. Para perempuan yang sudah menapouse inilah yang menjadi entitas ketiga dalam konsep tritangu.[36]
Konsep tritangtu adalah bagian dari kosmologi Sunda yang berangkat dari pemahaman Tilu sapamula, dua sakarupa. Hiji eta, eta keneh. Artinya adalah “Pada mulanya adalah tiga, dua ada dalam bentuk yang sama dan itu yang disebut Yang Satu.” Kalimat tersebut ditemukan dalam sebuah komunitas masyarakat Sunda yang ada di Ciptagelar, Sukabumi.[37]
Kata Tritangtu berasal dari kata bahasa Sangsekerta, tan dan tangtu, yang kurang lebih berarti jaring laba-laba (tan) dan ikatan (tangtu). Jadi, tritangtu dapat dipahami seperti sebuah jaring laba-laba yang mengembang ke arah luar dirinya dan sekaligus dimengerti berarti bersifat kohesif atau keterpaduan. Tritangtu adalah sebuah paradoks, di satu sisi dia berarti terpadu / kohesif ke dalam, tetapi di sisi lainnya mengembang ke arah luar eksistensi dirinya sendiri.
Di dalam praktek hidup sehari-hari masyarakat Sunda, konsep tritangtu terwujud dalam koneksi dan relasi tekad-ucap-lampah, nyawa-raga-papakean, buhun-nagara-sarak, resi-rama-ratu dalm lain sebagainya.[38] Tritangtu menjadi cara berpikir dasar orang Sunda dan bagaimana orang Sunda melihat dunia ini, dimana pada akhirnya Tritangtu mempengaruhi segala aktifias, seni, budaya dan tata kehidupan masyarakat Sunda. Apa yang orang Sunda pikir, katakan dan perbuat, pada dasarnya berhubungan dengan konsep Tritangtu ini. Sebuah filosofi yang menggambarkan sebuah pola hubungan dan kehidupan yang harmonis dan selaras antara pikiran-perkataan-perbuatan dan antara keinginan-akal-kekuatan fisik.[39] Tritangtu adalah sebuah upaya perasionalisasian pola hidup di dalam budaya masyarakat Sunda. Tritangtu menjadi pemisah dan pemersatu / penghubung banyak hal di dalam kehidupan masyarakat Sunda.
Lebih lanjut, pola Tritangtu dalam masyarakat Sunda antara lain juga muncul dalam  (unsur di tengah adalah unsur yang mengharmonikan dua unsur di kiri dan kanannya) : Batara Keresa-BATARA MAHAKARANA-Batara Kawasa, kemauan-PIKIRAN-perbuatan, kemauan-PERKATAAN-perbuatan, sorga-MANUSIA-bumi, air-BATU-tanah, resi-RATU-rama, atas-TENGAH-bawah, jiwa-TUBUH-pakaian, dataran rendah-LEMBAH-dataran tinggi, pegunungan-HUTAN-laut, di dalam-DI TENGAH-di luar, perempuan-BUKAN PEREMPUAN BUKAN LAKI-LAKI (ANAK-ANAK)-pria, tikam-POTONG-pukul (muncul dalam bentuk senjata tradisional masyarakat Sunda, yaitu Kujang), putih-MERAH-hitam, dan lain sebagainya.[40] Jadi, pola Tritangtu menghubungkan dua entitas dan mempengaruhi kedua entitas pertama. Pola Tritangtu menciptakan keindahan dan harmonisasi yang baik.
Pola Tritangtu menciptakan keindahan dan harmonisasi kehidupan dalam masyarakat Sunda. Hal ini selanjutnya dapat kita temukan dalam kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Sunda itu sendiri. Nilai-nilai kearifan lokal ini bersifat universal dan terdapat dari tradisi lokal masyarakat Sunda, termasuk dalam mitos-mitos lokal yang berkembang di masyarakat. Hal ini juga menyatu pad acara hidup orang Sunda, dan cara pikir (worldview). Cara paling lazim yang dipergunakan oleh masyarakat Sunda untuk dengan mempergunakan ekspresi tradisionalnya yang mengungkapkan relasi dengan Tuhan, dengan sesama, dengan situasi serta kondisi hidup yang diharapkan. [41] Ekspresi pandangan hidup orang Sunda ini menjadi tuntunan dan alat kontrol dalam kehidupan orang Sunda sehari-hari. Ekspresi yang terkandung dalam literatur Sunda, tradisi oral dan tulisan, cerita rakyat dan juga penuturan dari orang Sunda sendiri.[42]
Pandangan hidup yang dapat dicatat di sini antara lain tentang bagaimana orang Sunda melihat diri mereka sendiri sebagai manusia yang sopan, sederhana, jujur tetapi juga tegas, punya kontrol diri yang baik, berbudi baik dan berpikiran terbuka menerima kehadiran orang lain. Pandangan Silih Asih, Silih Asuh, Silih Asah adalah rangkuman dari cara pandang orang Sunda terhadap dirinya sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain yang didasarkan pada cinta kasih, rasa saling menghormati dan dengan bela rasa. Hasilnya adalah pola hubungan yang harmonis dan guyup (intim) serta hidup bagaikan sebuah keluarga besar. Ciri lainnya adalah sikap orang Sunda yang selalu berusaha menghindari diri dari konflik. Sikap hidup yang harmoni ini tergambar dalam ekspresi orang Sunda yang berbunyi, kudu silih asih, silih asuh jeung silih asah dan kawas gula jeung peueut yang artinya kurang lebih hidup harus saling mengasihi dan menghormati satu sama lain.
Pola hidup harmonis juga diperlihatkan dalam hubungan orang Sunda dengan alam semesta. Bagi orang Sunda, alam itu penting dan membentuk kehidupan orang Sunda itu sendiri. Oleh karena itu, selain mempergunakan dan memanfaatkan alam, orang Sunda harus memelihara, merawat dan mengatur bagaimana alam dan sumber dayanya dipergunakan. Hal ini dilakukan justru karena tahu bahwa alam semesta ini ada karena Tuhan yang menciptakannya. Dari alam, orang Sunda bukan saja mendapatkan bahan makanan tetapi juga kebutuhan untuk membangun rumah, pakaian dan kebutuhan-kebutuhan lain, termasuk kebutuhan upacara adat dan keagamaan. Kesadaran akan tanggungjawab terhadap alam dan menciptakan keharmonisan dengan alam, nampak antara lain dalam ungkapan leutik ringkang gede bugang yang artinya manusia itu punya keterbatasan untuk mempergunakan dan menata alam semesta ini. Selain itu, sikap harmoni dengan alam semesta juga nampak dalam kisah rakyat dan mitos tentang Nyi Pocahi, yang menganggap tanam-tanaman yang berguna dan bermanfaat untuk kehidupan orang Sunda memiliki sifat ilahi, seperti padi, ketan, dan bambu. Hal ini disebabkan dalam mitos Nyi Pocahi adalah makhluk adikodrati.
Contoh lain dari pola hidup harmonis yang dimiliki oleh orang Sunda adalah dari cara mereka bekerja secara bersama-sama (komunal) dan juga untuk kepentingan bersama. Nilai harmoni dalam hidup orang Sunda juga nampak dalam kemampuan orang Sunda untuk dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada di sekitarnya.



Penutup: Teologi Lokal Bagi Gereja Kristen Pasundan
Dalam mengupayakan adanya teologi lokal bagi Gereja Kristen Pasundan, penulis menyarankan penggunakan unsur budaya lokal di tatar Pasundan ini tidak sekedar pada tataran menggunakan elemen-elemen budaya yang tangible atau terlihat, seperti bahasa, lagu, tarian dan upacara-upacara adat yang dipergunakan di dalam liturgi saja, tetapi lebih pada memberi perhatian ke elemen budaya Sunda yang intangible atau yang tidak kelihatan. Elemen budaya ini adalah worldview orang Sunda yang hadir dalam antara lain keseluruhan kearifan lokal orang Sunda, peribahasa, penuturan dan lain sebagainya. Inilah nilai-nilai Kasundaan itu.
Pandangan tentang dunia secara menyeluruh dan kearifan lokal adalah bentuk terdalam dari budaya, yaitu asumsi orang yang terstuktur secara kultural saat mereka menerima dan berespon terhadap realitas hidup yang ada. Apa yang jadi bentuk terdalam budaya rupanya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia.[43] Kraft menekankan bahwa pandangan dunia dan kearifan lokal itu menyediakan desain kehidupan dan jalan untuk manusia mengatur kehidupannya, berurusan dengan setiap aspek kehidupan, menjadi warisan masa lalu dan pelajaran di masa yang akan datang, umumnya hanya dapat dipahami oleh orang yang berada dalam konteks budaya tersebut, menyediakan pola-pola strategis yang memampukan manusia gampang beradaptasi pada situasi fisik dan sosial di sekitarnya, dan seperti lem yang merekatkan manusia dengan budayanya, dan juga sebuah persepsi terhadap realitas dan berespon terhadap realitas tersebut.[44]
Akhirnya berangkat dari hal di atas, dan penjelasan lain di dalam tulisan ini, Gereja Kristen Pasundan dapat menangkap bagian dari pandangan tentang dunia oleh orang Sunda (worldview) dan kearifan lokalnya adalah antara lain nilai-nilai kebersamaan, guyup, suka damai, dan  terutama selalu berusaha menciptakan relasi yang harmonis baik dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya, dan menjadikannya modal pembentukan teologi lokalnya.
Semuanya adalah bagian dari nilai-nilai Kasundaan yang sesungguhnya adalah nilai-nilai hidup yang universal. Nilai-nilai Kasundaan ini seharusnya memberi warna khas di dalam kehidupan bergereja di Gereja Kristen Pasundan dan nampak di dalam keseluruhan aspek hidup bergerak. Bukan saja pada hal-hal yang terkait persoalan liturgis, ritual dalam gereja dan acara-acara seremonal yang bersifat tradisional saja. Walaupun tidak dengan maksud menjadikan Gereja Kristen Pasundan sebagai gereja “suku Sunda”, nilai-nilai Kasundaan tadi hendaknya menjadi identitas dan karakter hidup Gereja Kristen Pasundan.
Karakter dan identias Kasundaan terutama menciptakan hubungan yang harmonis, harus nampak dalam perhatian dan kepedulian Gereja Kristen Pasundan pada realitas keberagamaan agama di Indonesia, dan terutama di Jawa bagian Barat. Nilai Kasundaan berupa harmoni (termasuk juga nilai-nilai hidup dalam perdamaian, guyup, kebersamaan, keintiman hubungan dengan sesama), kiranya terus mendorong Gereja Kristen Pasundan membangun relasi damai dengan semua kalangan dan mempromosikan ide-ide pluralisme dan dialog lintas-iman dalam berbagai kesempatan. Selain terhadap kenyataan keberagamaan di bidang agama, maka dengan menghidupi nilai-nilai Kasundaan tersebut, Gereja Kristen Pasundan juga dapat ikut dalam usaha-usaha mempromosikan rasa penghargaan terhadap keberagamaan adat istiadat, bahasa daerah dan budaya yang ada di seluruh Indonesia sebagai bagian dari modal persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini, malahan, dapat dimulai dari kehidupan bergereja di Gereja Kristen Pasundan sendiri yang dalam kenyataannya, memiliki keberagamaan suku bangsa. Keberagamaan yang seharusnya menjadi kekayaan persekutuan di Gereja Kristen Pasundan.
Hal terakhir yang seharusnya menjadi bagian dari teologi lokal Gereja Kristen Pasundan adalah perhatian yang terus terasah dan respon yang tidak pernah berhenti terhadap kenyataan kemiskinan yang masih banyak terjadi di sekitar kehidupan bergereja Gereja Kristen Pasundan. Di dalam teologi lokalnya ini, Gereja Kristen Pasundan dapat mengembangkan refleksi teologisnya atas persoalan kemiskinan dan perjuangan sosial melawan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. Teologi lokal bagi Gereja Kristen Pasundan adalah adanya respon dan tanggungjawab sosial Gereja Kristen Pasundan yang diterjemahkan ke dalam tindakan nyatakan bersama Gereja Kristen Pasundan dengan masyarakat dimana Gereja Kristen Pasundan berada. Usaha untuk menemukan formulasi yang tepat dalam bertindak mengatasi persoalan kemiskinan dan ketidakadilan sosial di dalam masyarakatnya, adalah teologi lokal bagi Gereja Kristen Pasundan.  Inilah teologi sosial Gereja Kristen Pasundan yang hendak mewujudkan tanggungjawab imannya di dalam masyrakatnya.
Jadi, akhirnya, teologi lokal bagi Gereja Kristen Pasundan bukan sekedar bicara tentang identitas Gereja Kristen Pasundan di dalam konteksnya atau dalam usaha-usaha mempergunakan elemen budaya Sunda di dalam liturgis saja, tetapi juga tentang bagaimana Gereja Kristen Pasundan bertindak secara nyata di tengah realitas kehidupan dimana ia berada. Teologi lokal Gereja Kristen Pasundan adalah praksis Gereja Kristen Pasundan dalam berhadapan dengan realitas sosial yang ada di sekitarnya dengan mempergunakan kearifan lokal budaya Sunda yang bersifat universal.




Daftar Pustaka

Bevans, Stephen B. Model of Contextual Theology: Revised and Expanded Edition. New York: Orbis Books. 2003.
Greetz, Clifford. Interpretation of Culture: Selected Essays. New York: Basic Books, 1973.
Hesselgrave, David J. dan Edward Rommen. Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012.
Karft, Charles H. “Culture, Worldview and Contextualization” dalam Perspective on the World Christian Movement,
eds. Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne et.al. California: Willam Carey Library, 1999.
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1995.
______________ Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Bara, 1985.
Martasudjita, E. Pengantar Liturgi: Makna Sejarah dan Teologi Liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Samosir,Leonardus. Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks. Jakarta: Obor, 2010.
Shorter, Alyward. Toward A Theology of Inculturation. New York: Orbis Books, 1998.
Tanner, Kathryn. Theories of Culture: A New Agenda for Theology. Minneapolis: Fortress Press, 1997.
Singgih, Emanuel Gerrit. Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan antara Kontekstualisasi Teologi dengan
Interpretasi Alkitabiah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Sumardjo, Jacob. Sunda: Pola Rasionalitas Budaya, Bandung: Kelir, 2011.
Phan,Peter C. In Our Own Tongues: Perspective from Asia on Mission and Inculturation. New York: Orbis Books,
2003.
Rachmat, Otong K., Materi Dasar Ilmu Budaya Sunda. Bandung: Universitas Pasundan, 2000.
Warnaen, Suwarsih, et.al. Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda.
Bandung: Dirjen Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987.



[1] Pendeta Tugas Khusus Studi Master di Graduate School of Theologi, Hanshin University, Seoul – South Korea. Lulus Juni 2014 dan sekarang melayani  di BPP Sinode Gereja Kristen Pasundan.
[2] Stephen B. Bevans, Model of Contextual Theology: Revised and Expanded Edition (New York: Orbis Books. 2003), 19.
[3] Penulis tidak menutup mata pada kondisi keberagaman latar belakang budaya yang kini ada di tengah-tengah kehidupan persekutuan di Gereja Kristen Pasundan. Hanya saja untuk maksud penulisan ini, penulis memberikan perhatian khusus pada budaya Sunda sebagai budaya yang ada di Jawa Barat. Untuk langkah selanjutnya, tentu saja Gereja Kristen Pasundan harus memberikan perhatian pada kekayaan unsur budaya yang ada di tengah-tengah kehidupan berjemaat, bukan saja berhenti pada budaya Sunda atau budaya Betawi atau budaya Cirebonan, tetapi pada unsur budaya lain yang ada. Semuanya pada akhirnya dapat memperkaya teologi lokal Gereja Kristen Pasundan sendiri.
[4] Bevans, Model of Contextual Theology, 20.
[5] Alyward Shorter, Toward A Theology of Inculturation (New York: Orbis Books, 1998), 5.
[6] Charles H. Karft, “Culture, Worldview and Contextualization” in Perspective on the World Christian Movement, eds. Ralph D. Winter, Steven C. Hawthorne et.al  (California: Willam Carey Library, 1999), 386.
[7] Clifford, Greetz, Interpretation of Culture: Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 89.
[8] Kathryn Tanner, Theories of Culture: A New Agenda for Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1997), 25-29.
[9] Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1995), 5-8. Lihat juga Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Bara, 1985), 180-182. Di bukunya ini, Koentjaraningrat menuliskan bahwa menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
[10] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 186-187.
[11] Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, 5-8.
[12] Shorter, Toward A Theology, 6-8.
[13] Ibid., 13-16.
[14] Ibid., 10-13.
[15] Emanuel Gerrit Singgih, Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan antara Kontekstualisasi Teologi dengan Interpretasi Alkitabiah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 1.
[16] Ibid., 7-10.
[17] David J. Hesselgrave and Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 76-79.
[18] Ibid., 81-93.
[19] Singgih, Dari Israel ke Asia, 118-121.
[20] Bevans, Models of Contextual Theology, 9-11.
[21] Peter C. Phan, In Our Own Tongues: Perspective from Asia on Mission and Inculturation (New York: Orbis Books, 2003)
[22] Leonardus Samosir, Agama dengan Dua Wajah: Refleksi Teologis atas Tradisi dalam Konteks (Jakarta: Obor, 2010), 82-83.
[23] Robert J. Schreiter, Constructing Local Theologies (New York: Orbis Books, 1993), 26-27.
[24] Schreiter, Constructing Local Theologies, 28-29.
[25] Ibid., 32.
[26] Schreiter, Constructing Local Theologies, 6-16.
[27] Ibid., 11.
[28] Ibid., 12.
[29] Schreiter, Constructing Local Theologies, 14-15.
[30] Bevans, Model of Contextual Theology, 31.
[31] Ibid., 31-32.
[32] Bevans, Model of Contextual Theology ,55.
[33] Ibid., 57.
[34] Ibid.. 59.
[35] E. Martasudjita Pr., Pengantar Liturgi: Makna Sejarah dan Teologi Liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 79.
[36] Jacob Sumardjo, Sunda: Pola Rasionalitas Budaya, (Bandung: Kelir, 2011), 85-86.
[37] Sumardjo, Sunda, 25.
[38] Sumardjo, Sunda., 25-26.
[39] Ibid., 29.
[40] Ibid., 236-237.
[41] Otong Rachmat K., Materi Dasar Ilmu Budaya Sunda (Bandung: Universitas Pasundan, 2000), 15.
[42] Suwarsih Warnaen et.al, Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda (Bandung: Dirjen Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987), 4.
[43] Kraft, “Culture, Worldview and Contextualization”, 384-391.
[44] Ibid., 387.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar